Terapi syukur : Menghidupi sebuah kerinduan


"kamu tidak akan pernah tahu seberapa berarti dirinya sebelum kamu menjadi dirinya"

31 Maret 2008, 04:00 dini hari....

Perlahan tapi pasti sosok itu terbangun dari tidurnya. Dia mengusap matanya yang masih terlihat sembab. Kukira dia habis menangis semalaman. Dicucinya mukanya di pancuran dekat bangunan rumah, ia mandi, lalu pergi ke rumah ibadah dan berlutut di altar Sang Ilahi. Mulutnya terkatup, matanya seakan diperas supaya mengalir airmata itu walau sudah kelopak itu ditutup.

Tak lama berselang ia berdiri dengan tegap, dan melangkah dengan pasti, dan dalam hati berkata " Hidupku ini ada untuk Tuhan dan cintaku. Aku harus adil pada keduanya. Aku bersyukur padaNya untuk jiwa dengan menjalani cerita yang ia adakan bagi jiwa di dunia. Jalan hidup hamba. Aku mencintainya dengan kerinduanku yang tak terbatas namun tak terucap kata"

Laki-laki itu lalu keluar dari rumah ibadah dan menuju ladang tempat ia menyambung hidupnya. Menyambung hidup dari ladang mawar di lereng cantik di pegunungan subtropis di belahan utara bumi.




7 Desember 2020, 7:11 pagi....

Seorang perempuan berlari gelisah dilorong sepi sebuah rumah sakit pinggiran di dekat kota. Tak jauh dibelakangnya seorang pria yang tadi merangkulnya tergesa mengejarnya. Sampai pada satu bilik dan ditemui mereka soerang juru rawat yang berkata "Anda keluarganya ?" Jawab perempuan itu, "Bukan, kami sahabatnya" Lalu si juru rawat itu membiarkan mereka masuk.

Di dalam bilik itu, si perempuan tiba-tiba saja lemas dan jatuh pingsan....

Ketika terbangun, pria yang bersamanya memberikan secarik kertas dan berkata "Ini yang tersisa darinya...kamu pasti bangga pernah mencintainya...."

Dan perempuan itu membaca kertas itu...sebuah puisi..yang lusuh karena sempat basah kelihatannya....

Memaknai sebuah kerinduan

Aku bukan Kristus yang sanggup menahan ini semua sendirian..
Temani aku hei ciptaan serupa kerinduan, sebab aku bukan nabi Tuhan yang teguh dalam kehidupan...
Tapi aku takkan biarkan raga ini mati , dan biarkan aku terus berlari
karena aku punya dua cinta dan janji...untuk dia dan Tuhan pemberi hati...

Aku tak mau mengecewakan Tuhan dengan sembab mata yang lama...
namun ijinkan aku untuk juga tak menodai rasa dengan kerinduan yang setia...

aku tahu,
kalau saat itu datang.....kamu pasti ada disini,
dan aku tahu bahwa kamu sudah bisa tertawa beseri lagi..
tanpa aku dalam hidupmu....
maka itu kubawa kemanapun ikrar rasa ini pada raga untuk kau baca...

namun aku juga tahu,
bahwa air mata yang ada dipipimu adalah kejujuran Tuhan buatku
bahwa Dia tetap memberikan Cinta buat mereka yang setia pada panggilan dan kerinduannya...
maka aku mau hidup dalam kerinduanku...
sebab itu adalah ungkapan syukurku untuk pernah hadirnya kamu dalam hidupku...

Kerinduan itu tidak buruk untuk dilalui
bahkan indah untuk mengajari diri ini pujian syukur pada Ilahi,
Walau kenyataan memang kadang tak bersama diri...
bukankah tidak denganku namun bersama siapa kamu bahagia ?
namun cinta tetap adalah ilmu membuat dia yang kita kasihi bersuka

aku telah lewati masa sulit begitu juga dirimu
kamu dengan masa depanmu
aku dengan kerinduanku...
dan kini ini aku disini ...utuh dengan kerinduan dan syukurku atasmu...
sebab Tuhan kuyakini tidak pernah membohongi jasad apalagi jiwaku
bahwa ia akan menghadirkanmu di saat terakhir hidupku.
kebaikkanNya atas setiaku

"Dia meninggal terkena longsoran salju di ladang"
Kata perawat yang memperbolehkan kedua orang itu tadi masuk.


"Sebab kesetiaan yang tak berujung adalah rasa syukur tak berbalas jasad, namun Tuhan akan membalasnya dengan kisah tak terbantahkan ! " - Christopher Reginald

Terapi Syukur : Lakukan !

"Iman tanpa perbuatan, hakikatnya adalah mati !"

"Apa bedanya orang-orang besar yang tercatat dalam sejarah, dengan manusia pada umumnya Bapa ?" Tanya seorang anak pada Bapaknya.

Jawab sang bapak. "Kenapa kamu bertanya demikian ? kurasa mereka adalah manusia-manusia beruntung yang memperoleh kesempatan lebih banyak dari kita ini"

Lalu si anak menjawab bapanya, "Kalau Bapa menjawab demikian, bagaimana dengan keadilan di muka bumi ini ? bukankah orang-orang besar itu bagian dari sebuah sistem keadilan universal ?"

Bapa itupun terdiam, dia menerawang seakan mencari jawaban bijak untuk keingin-tahuan anaknya, lalu ia berkata "Keadilan tetaplah keadilan anakku. Aku tak menyalahkanmu kamu berpikir demikian, namun hendaknya kamu mencoba memberi kesempatan sisi lain di pikiranmu masuk dan menjelaskannya. Karena keadilan bukan seperti apa yang kamu lihat, namun apa yang kamu buat"

Si anak mengernyitkan dahinya sambil bertanya, "Sejujurnya, aku tak mengerti maksud bapa. Yang aku pahami mungkin sedikit, namun apakah orang-orang tercipta sama di mata Pencipta, lalu kenapa Bapa menganggap orang-orang besar itu beruntung ?Apakah keberuntungan adalah segalanya ?"

Sang Bapapun akhirnya masuk kedalam rumah, mengambil remah-remah roti di atas piring yang sudah kosong dan keluar lagi. Ia mengajak si anak kesebuah danau jernih yang luas di kaki bukit tak jauh dari kediaman mereka. Disana ia menebarkan remah itu kepinggiran danau itu. Tak lama beberapa ekor ikan datang lalu menghabiskan remah-remah itu, lalu ikan-ikan itu kembali ke tengah danau. Lalu ia berkata "Anakku, itulah keadilan yang kumaksudkan. Ikan-ikan yang kebetulan sedang berada di pinggiran itu adalah contoh keberuntungan itu. Mereka diberi oleh Penciptanya untuk memperoleh lebih banyak mungkin dari yang lainnya pada hari ini. Namun apakah ikan yang ditengah sana mati kelaparan ? tidak bukan ? sama seperti aku dan kamu hidup cukup walaupun tidak sampai bergelimang harta"

Lalu dengan wajah memerah sang anak bertanya lagi "Namun kenapa kalau begitu mereka jadi pembesar, seperti ikan-ikan itu ada ditepian sebegitu beruntungnyakah mereka?"

Jawab sang ayah sambil mengajak anaknya pulang ke arah matahari yang mulai terbenam "
Tidak anakku sayang. Kebesaran ataupun kekenyangan adalah anugerah. Namun ikan itupun mungkin berasal dari tengah. Mereka mungkin sedang melihat kepinggiran saat aku memberi makan. melihat adalahh proses anugerah. Manusia lebih menyukai menyebutnya kesempatan, dan selebihnya adalah usaha mereka bukan ? Mungkin mereka harus melawan arus, seperti manusia harus memutar otak dan memeras keringat ? dan Manusia lebih sering menamainya niat dan usaha
"


Lalu si anak menjawab pada bapanya sambil tersenyum
"Berarti, bila aku mendoakan, berharap, dan merasa ingin terhadap sesuatu yang baik itu adalah kesempatan ? dan aku harus melawan yang pahit dan maju terus adanya adalah sebuah perbuatan yang bapa katakan? Bahkan ketika kekalahan yang hampir matipun, tetap ada kesempatan untuk kembali menang ?

Sang bapapun menjawab sambil merangkul anaknya "Apapun yang kamu pikirkan, mungkin adalah kehendakNya, walau dalam kesesakan apapun. Ketika kamu menyadarinya, di sana dimulai kesempatanmu. Kamu akan merasa sangat beruntung, seperti pembesar yang merasa sangat berkuasa itu adalah waktu dimana kamu tetap bersyukur, dan Tuhan akan menghadiahi kamu jalan kemenangan. Selebihnya ada padamu. Seperti yang kamu katakan pada contoh kekalahan telak. Pejuang mungkin menang dengan kematian dan iman bukan ? Namun pejuang itu tetap berbahagia karena tahu ia sudah menyadari peran Tuhan dan melakukannya !"

"Sebab ketika melihat sesuatu kita diberi pilihan untuk menghampiri atau tidak, dan itu adalah kesempatan. Ketika mendapat dan menjadi berbahagia, itu adalah anugerah. Ketika kehilangan atau tak mendapatkan namun tetap bahagia itu adalah mensyukuri. Namun ketika semua ada dihadapan dan pengetahuanmu namun tak kamu lakukan itu semua ,hakikatnya kamu tidak memperoleh anugerah dan seperti jiwa itu dinamai sudah mati"

Terapi Syukur : Hikmah Pelangi


“Siapakah seperti orang berhikmat? Dan siapakah yang mengetahui keterangan setiap perkara? Hikmat manusia menjadikan wajahnya bercahaya dan berubahlah kekerasan wajahnya” – Pengkhotbah 8:1

Di teluk Jakarta, di suatu sore yang kelabu…


Sebuah keluarga yang tidak banyak jumlahnya, berjalan pelan menuju ke ujung dermaga. Langit seakan kian pekat dengan setumpuk gulungan awan yang berwarna hitam geram ingin menangis. Oh ya sebelum aku lupa, aku adalah bagian dari keluarga ini. Aku mencoba berbagi cerita tentang masa hidup yang pernah kulewati, ketika seorang ibu terlihat sudah lelah terisak, hingga ‘bungkam’ sudah jadi image barunya beberapa jam belakangan ini. Di tangannya di genggam erat sebuah kendi, atau mungkin lebih tepat guci kecil, karena terbuat dari keramik. Isinya abu, abu jasad putri tercintanya, sepupuku tersayang yang belum lama ‘pergi’.


Saudari kecilku itu pergi karena katanya dia kena penyakit yang belum ada penyembuhnya. Masalah dengan sel darah intinya, aku tak paham selebihnya. Yang kutahu, ia makin lemah ketika terakhir aku menjenguknya. Hingga akhirnya kami sampai di sini, di semenanjung terakhir kebersamaan raga kami dengannya…dengan ‘abu’nya..


Mesin kapal menderu ketika ia kembali dinyalakan. Satu persatu keluarga itu naik ke kapal. Sedikit lamban, karena rupanya debur dan gelombang mulai tak bersahabat di senja tanpa banyak cahaya di udara itu. Kapalpun bergerak, walau lamban, namun terus menuju kedepan. Kulihat keangkasa…Awan diangkasa terlihat menakutkan. Namun n’tah mengapa, tumpukan awan itu semacam digulung mundur kearah kapal kian menuju ke tengah lautan. Gulungan awan gelap berganti dengan semilir senja yang menguning syahdu tanpa terik yang berarti.


Akhirnya kami berhenti. Kami hanya melihat Jakarta samar-samar, karena gempita lampu malam mulai siap menyala. Dengan doa khusuk keluarga, ditemani derai air mata yang mulai tak tertahan. Sang ibu membuka pintu kebersamaan terakhir dengan putrinya. Matanya yang berkaca seakan berkata. “Kurelakan kamu putriku” walau airmata kepedihan tampak jelas ada di pipinya. Lalu abu itu mengalir melarung kemana Sang Pencipta meniupkan angin membawa arus keliling bumi. Semua di tutup dengan ucap doa untuk adinda sebelum akhirnya deru mesin mengganti suara untuk menuju kembali ke tepi di sana.

Sunyi menyelimuti semua. Namun lagi-lagi langit seakan ingin berkata. Senja kian menguning. Di sisi kiri langit kian cerah dengan kuningnya. Awan gelap seakan sembunyi.. Seperti gambar adik kecilku, langit seakan hanya diserpihi awan putih. Lalu, Tuhan seakan melukiskan pesan tak terucapkan. Searah perjalanan ke daratan, Ia melukiskan bukan satu namun dua keindahan. Kasat mata seperti dari atas lautan, terbentuk dua lengkung utuh karyaNya, karya sejuta warna bernama : PELANGI, dua susun sempurna pelangi tepatnya. Hingga decak kagum dan kebahagiaan seakan semilir menyelimuti keluarga itu.

“Mungkin itu jalannya kepadaNya” kata seorang pamannya, dan wajah sang ibu seakan meng’amin’ninya. “Mungkin malaikat turun untuk menjemputnya” kata yang lain. Dan semua kata itu terus mengalir hingga kaki memijak daratan. Lalu kami menuju kendaraan, dan ketika semua siap berangkat pulang, tanpa sadar awan hitam sudah kembali pulang, dan turunlah hujan.

Pelangi itu begitu indah sore itu. Tapi coba kamu lihat darimana ia ada. Pelangi biasanya datang ketika usai hujan yang dingin. Dingin yang terlalu cepat berganti oleh kilau surya yg terik, membias warna di sisa air mata alam si hujan.

Apakah dia,datang dengan menyenangkan bila demikian? tidak selalu rupanya..dia datang dengan kucuran air mata alam...silih berganti cahaya, dan kadang terik yang tak menyenangkan. Namun kenapa timbul kekaguman atasnya? Mungkin kali itu pelangi membawa pesanNya kurasa. Si pelangi datang malah tepat sebelum hujan bukan setelahnya. Datang pada duka mendalam kehilangan dia yang begitu berarti untuk keluarganya.

Bila boleh aku menganalogikan, bahwa pelangi itu adalah rasa syukur yang sesungguhnya, maka ia datang saat aku, kamu, atau bahkan semuanya, tenggelam dalam pada jiwa yang kedinginan karena kehilangan. Lalu terbakar terik rasa sepi sendiri, dan luka lainnya atas kepergian putri tercinta. Semua itu tak menyenangkan memang. Aku sendiri kadang masih merindukan kebersamaan bersama saudari kecilku itu. Namun coba lihat. Kenapa ada keindahan yang begitu agung disekitaran dinginnya hujan, dan silaunya surya ?

Rupanya, Dinginnya hati serupa ketidakrelaan kadang membuat kita buta. Kelamnya awan hati tak membuat kita mudah menengadah ke Atas. Hingga kita merasa, cahaya yang datang dari angkasa usai hujan air mata adalah derita. Namun kisah ini membawakan satu hikmah yang mungkin sederhana. Bahwa setiap kita harusnya mampu bersyukur laksana pelangi. Karena keindahan hujan dan terik cahaya berarti bila aku, kamu dan kita semua mampu melukis pelangi hati dan rasa kita. Maka sekitar kita akan mengaggumi cipta Tuhan dalam laku syukur kita seperti halnya aku dan kamu mengagumi pelangi sore itu juga. Dan karena hikmah pelangi itu, semua kini dapat berjalan menuju masa depannya dengan bersyukur. Atas apa semua yang ada.

Karena hujan akan tetap turun ke bumi ini, dan mungkin akan bisa membawa derita membanjiri ladang jiwa, namun tak tertutup kemungkinan akan menyirami bunga rampai kehidupan yang mengagumkan.

Sebab cahaya terik mungkin membakar kering semua harapan hingga tak bersisa, atau dia akan membuat apa yang kamu lihat jadi kuning tanning mengaggumkan.

Jadi bila kita mampu berpayung dengan doa dan syukur saat hujan. Atau kita berlumurkan krim bijaksana saat terik cahaya hidup kita. Maka mungkin kita akan mencicipi pelangi dalam jiwa.Tidak kedeinginan, dan tidak terbakar! Maka, bukan tak mungkin kita melahirkan kebahagiaan yang unik serupa syukur dalam diri kita. Sekarang, dan selamanya. Di sini, atau dimana kita dan adik kecilku itu kini berada…

Dedicated to Irene Rani Clarinda

Bangkit (2) : Optimisme, Iman, dan Kamu

Sekuel kedua dari sebuah kebangkitan,

Malam boleh saja sudah merajai semesta. Jam dinding dengan angkuh mencoba memberi tahu aku bahwa sudah hampir dini hari pukul satu. Namun walau jujur raga ini lelah ingin rebah, ntah kenapa jiwa ini bergelora untuk berkata. Berkata tentang optimisme, Iman, dan Kamu !

Optimisme,
kata orang "janganlah terlalu optimis, bila tak mau kecewa", namun pihak lain berucap "optimisme itu adalah ungkapan syukur yang harus selalu ada dalam hidup manusia". Mana yang benar ? Atau keduanya salah ?

Aku melihat Optimisme hari ini sebagai sarana untuk bangun dari hibernasi jiwaku. Optimisme adalah bara api mimpi yang mulai tertiup angin harapan yang mulai merah merona. Optimisme buatku adalah tanda peringatan bahwa aku pernah jatuh dalam. Peringatan yang semoga takkan membuat optimisme menjadi satu keangkuhan. Optimisme adalah bagian dari renungan dan doaku, karena dari optimisme ada kegigihan, yang bila disatukan dengan ketidak-angkuhan akan menjadi introspeksi yang tulus.


Iman, aku kini mulai menggali kuburan imanku. Aku mulai mencari kembali bagaimana cerita hidup dengan iman. Dalam perjalananku kini, aku seperti anak kecil yang belajar mengaji. Aku layaknya pemuda yang sedang menimba ilmunya sebelum layak di baptis. Kulihat dari sisi ini, iman rupanya adalah seala bentuk yang harus aku lalui atas hal baik, dan terutama yang buruk.


Kata orang "Iman dengan kenyataan itu sama namun berbeda. Bila kamu mampu beriman dalam kenyataan yang paling pahit sekalipun, maka kamu akan selalu bersyukur. Hingga imanmu menjadi semangat dan optimismemu" ......." Oh, ternyata Iman berteman dekat dengan optimisme"


Kamu, sulit sebenarnya harus menggambarkan kehadiranmu. Aku takut kata-kataku terlalu anggun sehingga muak dibaca manis gombal ni kata.
Tapi baiklah aku harus selesaikan karya ini sebelum pagi datang menjelma.

Kata hatiku berkata, "Aku nyaman ada kamu disamping jiwaku". Kata pikiranku kepada hati "Dia telah mendewasakanmu lebih dari sekedar rasa dan kebahagiaan".... Kata mataku pada hati dan piiranku "Dia cantik..menarik..namun lakunya jujur, sehingga si mulut suka berkata 'perempuan bukan sih?' sambil tertawa"

Namun di balik semua itu, kamu adalah bagian tak terpisahkan dari optimisme imanku hari ini. Kamu adalah saksi dan 'tangan Tuhan' untuk menceriakan jiwa ini yang sempat lesu. Jujur aku tak mau kehilangan kamu. Dan jujur kesamaanmu dengan optimisme dan imanku adalah, bahwa kalian semua ada untukku karena Tuhan masih begitu mencintai aku dan kamu.

Hal yang membuatku bangkit mungkin, bukan dari dalam diriku semata, atau dari dirimu semata pula, namun karena kita sadar bahwa Tuhan begitu mencintai kita, dan menyisakan sepiring besar optimisme, hingga iman kita kenyang dan bisa bertumbuh lagi setelah lama sakit, dan Dia telah menghadirkan kamu sebagai nutrician jiwa yang baik adanya.

Bull2, di malam di mana raga sudah lelah ingin rebah

Bangkit (1) : Terus berbuat sesuatu

Kamu pernah bertanya kepadaku, "menurutmu, apakah arti cinta itu ?". Aku tak bisa menjawab banyak saat itu, namun mungkin kisah ini dapat menggambarkan apa itu cinta, walau mungkin hanya berasal dari satu sudut mata dari sekian banyak sudut pandang yang ada...

Pada satu masa sulit, di pinggiran desa pertanian di Selatan Prancis, tinggal di sebuah rumah yang biasa saja dua sosok manusia laki-laki, ayah dan puteranya. Sang ayah sehari-harinya hanya menikmati kesendiriannya. Kekecewaannya pada apa yang pernah dijalaninya telah membuat dia hanya menjalani hidupnya dengan naluri. Mencoba terus hidup dengan luka pengkhianatan yang dalam. "Dia telah ditinggal pergi ibuku..." kata sang anak pada orang yang bertanya 'ada apa dengan ayahnya'

Sang anak jugalah manusia, dia terus berpikir, bahkan terlalu banyak berpikir tentang bagaimana mengembalikan senyum ayahnya. Ayahnya yang pekerja keras di ladang itu, menjadikan sang anak terus ingin menunjukan pada ayahnya bahwa dia bisa menjadi semangat hidup bagi sang ayah, dengan bekerja keras pula. Namun sang ayah tetap murung hidupnya...

Ketika sang anakpun mulai lelah berharap pada Tuhan di rumahNya, dan mulai terseok imannyapun, sang ayah tetap murung. Bahkan ketika sang anak terus mencoba beriman dan terus beriman lagi mendoakan sang ayah, sang ayah...sang ayah tetap sayang murung...

Sampai satu saat, di satu pagi yang biasa bagi manusia. Di pagi dimana semua terasa masih malas untuk bangun dan membuka mata..Ketika sang anak tiba-tiba saja berucap "Apakah papa tidak ke gereja ? Hari ini Tuhan kurasa memanggil kita untuk bertemu denganNya" Dan saat itu sang ayah pergi bersamanya. Dan saat kembali ke istana mereka, wajah ayahnya tetap datar, namun ada tatap bersinar dari mata sang ayah...

Mungkin ini hanya sedikit rasa dalam ucapan...mungkin ini hanya ilustrasi sederhana perjalanan imanku...bahwa bukan bagaimana rupanya CARA hidup itu berjalan, namun bagaimana menjadi MAKNA bagi hidup itu sendiri....

Seperti mencintai..bukan bagaimana CARA dirimu terus berjuang untuk orang yang kamu sayangi, namun bagaimana akhirnya kamu menjadi MAKNA bagi orang yang kamu sayangi, dan itulah mencintai bagiku pagi ini...

Pagi hari, di hari raya Paskah, 23 Maret 2008

Matinya sebuah cita (3)

Hari ketiga tepat pada hari dimana pengorbanan adalah sesuatu yang tak tergantikan,
(mungkinkah ini sebuah titik cerah ?)


Pagi yang cerah ini kudibangunkan oleh dering suara janjimu, putriku. Sejenak aku terdiam, namun ntah mengapa pagi ini mengajakku lebih bersyukur akan setiap hela napas yang ada pada diriku. Apakah karena hari ini Jumat Agung ? atau hanya euforia sesaat yang lalu akan hilang ditelan hari-hari yang berlalu ?

Kuharap tidak, kuharap aku mulai menemukan kebabadian dari perjalanan hidup ini kedepan. Setelah memperoleh perbendaharaan
ikhlas dan sabar, mungkin kini saatnya kumulai untuk menjalaninya. menyelami kembali apa rasa dan hikmah dari ini semua.

Cita itu harapan katamu putri. Dan katamu, "Harapan tidak pernah mati", Semalam aku bertanya, "Apa iya harapan sebegitu tangguh untuk tidak mati ditelan remah-remah dunia yang tidak pernah seimbang ini ?" Lalu aku terlelap malam tadi. Belum memang kutemukan jawabannya, namun bolehkah aku menebak dengan iman seadanya di hari pengorbanan terbesar manusia ini ?

Harapan itu justru adalah yang membuat aku hidup ! Selama ini aku yang mati, bukan harapanku rupanya. Aku yang mematikan citaku dengan pesimismeku. Pesimisme bahwa aku akan tenggelam dalam kesendirian tanpamu, keraguan bahwa Tuhan akan memberikan hari-hari yang mengagumkan hari ini da esok lagi, dan aku malah meyakini datangnya kepedihan tiap pagi.

Teruslah menjadi harapanku puteri, karena daripadamu aku mengejar semua yang ada atas namaNya yang terlalu mencintai kita

Bila kamu tiada

(untuk seseorang yang berarti dalam hidupku)
"Di tengah malam penantian iman, dimana jiwaku masih terlalu nakal untuk lelap temani malam, sebuah karya sederhana... untuk hal yang mungkin hanya nyata bila kau benar pergi adanya.."


Bila kamu pergi dan tak kembali lagi pada dunia,
izinkan aku memelukmu sebelumnya..
biarkan airmataku ada untuk sebuah kerelaan tersulit dalam langkah jiwa
bolehkan aku berkata bahagia atas kehadiranmu, walau mungkin gombal didengar telinga...


Bila saja kau menghilang dari jalan kehidupan,
percayalah...kamu akan melihat arti dirimu sesungguhnya...
kamu akan merasa tak terlalu buruk seperti apa yang kamu pikirkan,jiwamu akan merasa rupawan dengan sanjungan orang-orang yang kamu tinggalkan...

Bila Tuhan telah memanggilmu pulang,
ketahuilah tak henti doaku hingga kau terlelap di pangkuanNya
pahamilah bahwa mungkin air mata masih akan mewakili tiap kenangan,
namun jangan bersedih, karena itu tanda kamu berharga...

Andai saja benar waktu kita tidak lama...
inginnya aku menemanimu di saat-saat tersulit dari dirimu adanya
impianku adalah tuaian senyummu sebanyak yang kubisa..
sehingga aku tak sesali apapun ketika tiba waktunya...

Bila kamu tiada...
mungkin kamu akan melihat apa adanya nanti pada waktunya...
namun ketahuilah bahwa tulisan ini ada seberarti kamu ada di hidup ni jiwa...
selebihnya hanya pembuktian nantinya yang akan melihat seberapa jujur ucap kata...
aku tak mau berjanji, karena ini bukan ikrar kata...
ini tentang hadirmu...
untuk semua, dan untukku...
sebab seperti katamu...
kamu tidak akan tahu apa yang aku rasakan...
kamu tidak akan mengira apa yang akan aku lakukan...
bila kamu tiada...bila kamu berpulang pada Tuhan...

Matinya sebuah cita (2)

Hari kedua dari perjalanan yang mulai berbatas (bearish or recession of faith and life ?),

Aku tak suka menyebutnya bearish dalam perjalanan hidupku, namun kurasa aku sudah ada dalam resesi yang sulit. Sebab kata orang aku ada dalam resesi yang komplikatif. Seakan tidak berujung adalah ciri yang sering ditemui dari perjalanan model ini.


Kalau mau kulihat lebih lanjut, aku akan melihat bahwa sebenarnya hampir satu dasawrasa belakangan aku hanya bertumpu pada setumuk jerami sebentuk iman. Masih sangat mudah terbakar dan menguap oleh nyata terik ni dunia. Mungkin itu yang kualami, namun ntah mengapa kini kian jadi perih.


Harus kuakui, kini ada kamu. Cahaya yang menemaniku saat aku harus mencoba terus tegar hidupku kutempuh. Mungkin kamu adalah alasan logis kenapa aku tetap mencoba terus bersyukur. Karena kemanusiaanku mulai menggerogoti nampan syukurku yang mulai rapuh. Ntah apa ujung ini semua namun citaku masih bernapas karena semangat itu berasal dari cahaya yang ada darimu


Selebihnya aku ingin menyelami sepekan yang kabarnya jadi sepekan penuh kebajikan bagi separuh umat di dunia. DImana kebenaran timbul dari penderitaan paling dalam. Saat orang bijak berkata "Tuhan sedang mendekati kamu dengan penderitaanNya, SalibNya, yang Dia inginkan adalah kesetiaanmu
: Dia sedang mengajakmu Sabar dan Ikhlas".Aku hanya ingin berdiam lebih lama.....


Di permenungkan kedua ini, belum banyak kesimpulan memang. Namun ingin kucari semua lebih jelas, lebih mengasihi, dan lebih hakiki..walau baru ada kata sabar dan ikhlas dari perbendaharaanku kali ni. Ntah apakah waktu memenangkan perburuanku akan itu sampai akhirnya pasir iman di jam waktuku mungkin akan habis. Siap yang menang...aku tak tahu...

Matinya sebuah cita

Hari pertama dalam kontemplasi jiwa

Aku tak tahu ada apa dengan ini semua, semua begitu terpojok. terkunci dalam ruang imaji dan sesak akan tipisnya udara mimpi. Mencoba realistispun aku sulit...karena realita, seakan tak mau terima aku apa adanya. Namun adakah semua itu diam dan berlalu ?

Kurasa tidak. Karena kata orang, hidup itu introspeksi tanpa hati. Pemenang-pemenang hadir ketika dia mampu berdiri tegap dan menyaring air sebelum keluar dari matanya walau akan tumpah ke hati.

Biarlah semua kini kubawa dulu dalam tidurku...mungkin...esok malam akan lebih baik dari malamku... Mungkin....atau setidaknya biar aku beranjak dari kebodohan jiwaku malam ini...