Memiliki: sebuah kepicikan terselubung

Di masa kecil saya, saya sangat suka bermimpi..memiliki istana yang megah..memiliki kekayaan dan kemakmuran berlimpah, serta memiliki segenggam kebahagiaan yang abadi sampai mati. yah...paling tidak sampai mati. Tak jarang juga saya bermimpi mempunyai segala sesuatu yang ideal yang penuh dengan kriteria-kriteria unik yang menurut hemat kita adalah sebuah idealisme yang tak bisa ditawar.

Apa kamu juga demikian?

Sedikit tentang impian, Saya tak bisa memungkiri memang bagi sebagian orang bermimpi memang adalah jalan paling mujarab untuk terus bersemangat menggapai mimpi itu, bahkan (lagi-lagi kata orang), bermimpi itu sudah mewakili 20% dari realitas. Walau sejujurnya saya bingung, realitas dan ketidaknyataan kok bisa ya dipersentasekan? bukankah realitas dan ketidaknyataan itu mutlak? seperti 0 dan 1. ada atau tiada?

Tapi..lepas dari mimpi yang berkonotasi positif, kini saya menemukan satu yang kurang manis dari sebuah impian, dari sebuah harapan. Bahwa mimpi untuk memiliki, menggapai, dan berharap sesuatu terealisasi membuat banyak jiwa (termasuk saya dan mungkin juga kamu) menjadi sosok yang picik, dan katakanlah 'mau menang sendiri'.

Materi : hak atau sebuah pemberian?

Ketika sesorang bermimpi memiliki materi tertentu dia akan berjuang habis-habisan memperolehnya. dari seperak jadi sejuta, dari sejuta jadi semiliar, dan dari semiliar jadi tak terbatas. Proses itu terus berjalan dan dalam proses ini manusia cenderung terus melihat keatas. Terus ingin memperoleh angka demi angka yang bertumbuh.

Hal itu wajar bukan? namun wajarkah ketika kita tidak memperolehnya? angka-angka itu berhenti, angka-angka itu turun atau bahkan angka-angka itu tergerus? Jujur, pasti ada kesesakan yang tak lazim hadir disetiap relung jiwa kita ketika itu terjadi. Kalau dikalimatkan "apa yang sudah kuusahan sekian lama, hilang begitu saja"

Pertanyaannya. kenapa kita harus merasa kehilangan? karena kita merasa berhak kah? karena itu kita anggap sebagai sebuah pencapaiankah? atau sesungguhnya itu sekedar sebuah pemberian?

Kekasih : menjadi dirimu yang sesungguhnya

Bila membahas hak dan pemberian lebih sulit bila melihat dari konsep materi, mungkin lebih mudah membahas soal pasangan hidup kita. Setidaknya saya dan kamu mungkin lebih pernah menjalani hal ini. 'Memiliki kekasih'

Ketika jiwa menjalani sebuah hubungan, tak jarang jiwa berekspektasi akan memperoleh perlakuan 'a' dan 'b'. Namun jujur tak banyak jiwa berekspektasi 'bila 'a' atau 'b' tak terjadi maka hal positif apa yang bisa terjadi selanjutnya' karena kebanyakan bila tak terjadi maka yang ada hanya KECEWA.

karena apa? karena jiwa merasa ketika jiwa sudah menjadi kekasih, suami, atau istri, maka jiwa sudah menjadi 'pemilik resmi' dari sosok disampingnya. Mungkin kita langsung berkata pemikiran itu salah. tapi coba akui, setidaknya biarkan saya yang mengakui, kalau kecemburuan, amarah lebih banyak terjadi ketika pasangan kita justru apa adanya dihadapan kita, namun kita tak terima entitas 'milik kita' itu tak sesuai ekspektasi kita. begitu bukan?

sebenarnya bukan salahnya, namun ekspektasi atas memiliki itu yang salah. begitu bukan? maka saya sedikit menemukan kesalahan dari 'mimpi dan memiliki' dari celah ini. celah bernama 'ekspektasi'

Bedanya berhak dan layak ?

Saya hanya ingin menyimpulkan beberapa hal dari tulisan ini :

Pertama izinkan jiwa minta maaf atas ekspektasi-ekspektasi yang melukai hati siapapun yang pernah berbagi dengan saya. maafkan karena konsep memiliki sudah membuat saya begitu mudah melukai jiwa. Mungkin kamu siapapun kamu yang membaca ini bisa memulai melakukan hal yang sama

Kedua. saya rasa hidup itu seperti kendaraan angkut yang harus bisa introspeksi seperti uji laik jalan sebuah kendaraan. terus dan terus hingga suatu anugerah atas berhak mencintai dan dicintai. memiliki dan dimiliki atas apapun (materi, pasangan, dan kebahagiaan) bisa abadi.

"Karena sesuatu akan diberi pada orang yang layak. dan hanya orang yang layak yang terus berhak mempertahankan sebuah kemenangan atas apapun bentuk mimpi yang diraihnya.di milikinya.." - Christopher Reginald

Pacu waktu & pembuktian

“yang bisa mengalahkan semua hanya pembuktian ! bukan rasa dan keluhan” – Christopher Reginald


Bedanya Miskin dan melarat? Memang beda?

Aku pernah bertemu dua orang di pinggiran jalan, orang baru yang aku kenal…mereka berasal dari kampung. Dari desa ntah apa namanya. Yah pokoknya dipedalaman yang sulit dijangkau bahkan oleh sentuhan matematika terapan di bangku pendidikan.

Tapi kini, setelah sekian tahun aku tak bertemu mereka, ada perbedaan mencolok. Bahkan sangat mencolok. Satu dari mereka tetap seperti yang dulu, bekerja sebagai kuli kasar dan serabutan. Makan nasi segunung, dengan garam sebisanya. Yang satunya lagi? Kini dia jadi pengumpul plastic bekas. Bahasa kerennya, dia jadi juragan pemulung. Dia kini memiliki rumah gedong di pinggiran kota . Dia kini kemana-kemana naik mobil.

Kenapa? Kenapa mereka bisa berbeda? Mereka sama-sama tidak punya matematika. Mereka lahir dari komunitas yang sama. Tapi kenapa kini peruntungan mereka berbeda?

Apakah takdir berkata beda? Yah..mungkin…tapi bagaimana meyakinkan logika kalau begitu?

Kutanya pada mereka berdua apa yang terjadi hingga mereka sampai pada hari ini. si berhasil mengatakan begini “saya boleh berasal dari daerah, saya juga boleh saja terlahir miskin, tapi bukan untuk menjadi lebih miskin lagi bukan?” Lalu ketika aku bertanya pada yang satunya, begini jawabnya “saya itu terlahir miskin, sudah bertahan hidup saja bagus. Saya tidak lebih melarat itu sudah anugerah”

Keduanya sama-sama bersyukur. Tapi cara mereka bersyukur beda. Miskin itu realitanya. Namun melarat itu hasil dari sebuah perjalanan rupanya, dan semua harus dibuktikan. Semua harus dipacu bersama waktu.

Kalah itu mutlak, menang itu yang relative

Setiap orang kurasa pernah berada ‘dibawah’. Nah berarti semua tahu bukan bagaimana rasanya. Salah itu pasti kan ? Pasti dikucilkan, pasti dimarahi, pasti..dan pasti… SALAH.

Bagaimana dengan kemenangan kalau begitu? Apa itu juara sejati?

Diatas seorang juara regional ada juara dunia. Seorang pemain terbaik ada masanya. Ada masanya dia akan jadi pemain biasa, karena usia, karena bermasalah dengan cidera di olah raga misalnya, atau kehilangan motivasinya.

Sehingga menghidupi sesuatu yang kalah itu harusnya biasa bukan? Kenapa aku (mungkin juga dirimu) begitu tolol untuk berlama-lama jadi pecundang? Bukankah seseorang bisa dikenang karena jadi pemenang? Atau malah jadi pecundang yang sejati?

Berhenti mencari alasan !

Ini mungkin yang paling rumit. Karena kita TERBIASA hidup seperti apa..

Seorang broken home kid selalu mengatakan dirinya tidak bisa optimal karena luka hatinya karena kekurangan kasih sayangnya. Begitu bukan?

Seorang suami menjadi begitu kasar karena dia menganggap istrinya selingkuh. Begitu bukan?

Seorang istri menjadi selingkuh karena dia menganggap suaminya kasar. Begitu bukan????

Atau bukan???

Semua berduduk perkara dan mencari basis alasan. Dan alasan itu yang selalu dipakai. Padahal apa begitu hidup ini? alasan hidup ini bukankah hanya pembenaran yang licik atas nama realita? Yang ingin mencari posisi nyaman yang berkedok “kebenaran?”? namun kalau begitu..mana solusinya??? Mana??? Apa solusi harus datang dari mereka yang berdosa? Atau harusnya dari kamu atau saya yang ‘katanya’ lebih baik dari mereka???

Jangan sampai tenggelam, walau selalu masih ada kesempatan

Yah..dunia terus berjalan rupanya…terus danterus…

Kalah akan terus kalah

Menang bisa menjadi kalah…

Mungkin kita harus berlomba..adu cepat dengan kenyataan, apakah bisa kita mengubahnya…ketika kita yang bisa berubah..atau mengubahnya…itukah yang disebut pembuktian? Yang membuat rasa syukur serupa bungkam datang?

talenan emas & fighting spirit

“bagaimana kita keluar dari lingkaran kebiasaan itu” – Daan Gautama Tirtawidjaja

(sebuah catatan manusia yang pernah salah dan ingin memperbaikinya)

Lagi-lagi soal ‘masalah’. Apa pendapat mu soal hadirnya ‘masalah’ Ada sebagian pendapat kalau dunia tanpa ‘masalah’ seperti masakan tanpa garam. Namun di era full of depression seperti ini, rupanya orang lebih menganggap dunia selalu ‘cari masalah’. Pertanyaannya? Apa sebenarnya dunia atau diri ini yang ‘cari masalah’?

Kalau direnungkan lebih jauh. Dunia ini hanya reaksi dari sebuah aksi. Yang mampu membuat aksi adalah jiwa. Jiwa yang mampu memberikan stimulus terhadap ruang yang ada dalam kehidupannya. Setuju tidak? Jadi darimana masalah itu datang? Bagaimana masalah itu bisa menjadi kian complicated kalau begitu? Jawablah saja sendiri mungkin dengan kejujuran hati.

Yah mungkin memang ‘masalah’ itu datang dariku, tapi bagaimana untuk menyelesaikannya?

Jujur..jujur…dan jujur….

Untuk keluar dari masalah (apa lagi yang sudah membusuk) tak ada awalan lain selain kejujuran itu sendiri. Kejujuran bahwa ada aksi kita meski secuil, yang mendatangkan masalah itu (bahkan kelahiran raga kitapun atau sekedar kedipan mata sekalipun bisa jadi masalah.)

Tak ada apresiasi yang lebih tinggi dari sebuah kemenangan terbesar selain pengakuan salah dan kalah yang jujur..

Namun…ketika berusaha jujur…sadarkah kamu bahwa kamu melawan si ego di dalam raga ini? Pertempuran yang sangat sengit di ketinggian yang membuat atmosfir toleransi jiwa menjadi sangat tipis.. tipisnya atmosfir membuat kamu mudah sesak terhadap sedikit gesekan saja terhadap lawan mainmu dalam permainan bernama ‘masalah’ ini.

Kurasa itu wajar dalam batasnya. Ketika setiap jiwa MENCOBA menjalankan sesuatu yang baru, apalagi dengan embel-embel ‘sedikit pengorbanan’ kita akan langsung dihadapkan dengan pertanyaan mengenai ketulusan dan niat untuk merubah. Kadang bentuk reaksi yang mengesalkan untuk pembuktian ketulusan yang membuat kita kian sesak. Padahal sebenarnya reaksi itu biasa saja. Kita yang sedang tidak biasa. Kita yang sedang merubah kebiasaan itu. Bukan dunia yang ‘lebih’ dama beraksi. BUKAN ! ini soal persepsi

Jadi yang harus kita lakukan untuk memulainya adalah selayak talenan emas. Emas itu jujur. Dia bersinar karena dia memang emas. Sekusam-kusamnya, emas tetap emas ditempa seperti apapun kemurnian yang akan dicapainya. Namun filosofi ‘talenan’ dibawakan kemari. Talenan itu tetap berguna sebagai alas potong. Agar prinsip paling dasar tak rusak. Agar sayatan-sayatan yang tidak mengenakan itu kini menjadi biasa saja Karen menyadari fungsi dan tujuannya. Menjadi talenan itu tujuannya. Tetap murni, hingga masakan itu selesai dan bisa disantap dari kuali kehidupan menjadi satu hikmat yang lezat. Begitu bukan?

Bukan satu hal yang mudah, namun kesempatan itu ada bukan?

Dengungan perihnya hidup sering sekali memaksa membuat kita terpukul bukan? Dan kita sepakat itu bukan karena dunia, itu karena cara kita menjalaninya. Kalau sekali atau sepuluh kali masih tidak apa-apa. Tapi kadang jumlahnya melewati angka yang ada. Lalu bagaimana?

Disini aku merasakan pentingnya fighting spirit. Fighting spirit sejati itu rupanya tak mengenal nominal sebagai suatu asumsi. Semangat itu hanya punya tujuan. Tidak punya Plan B bahkan. Fighting spirit itu ketidak pedulian yang teliti. Dia tidak perduli seberapa besar dia sudah kalah. Seberapa lebam kehidupannya. Yang dia tahu adalah bagaimana mencari agar dia tidak begitu dengan detail dan teliti. Bukan satu atau jutaan kali itu terjadi. Sama sekali bukan.

Kenapa demikian? Aku dan kamu pasti lelah bukan akan keadaan? Yah..memang iya..keadaan itu memang melelahkan…tapi ingatlah lagi bahwa itu reaksi kita bukan kehendak dunia apa lagi diriNYA.

Aku menyadari hal itu. Mengapa? Karena coba lihat kaki dan tangan serta jiwamu utuh. Kamu masih ada dan bernapas disini. Bukankah itu rahasia suatu kesempatan?? Bukankah itulah kesempatan itu sendiri?

Atau ada hal lain?

Kenapa harus menangisi sebuah anugerah kehidupan? Kamu boleh lelah tapi tidak kalah !

Kenapa harus menyesali sebuah tindakan tanpa perbaikan ? kamu tak mungkin tak salah tapi bagaimana kamu merubahnya menjadi berkah

Kenapa kamu harus meminta kesempatan kedua atau kesekian pada Tuhan ? padahal setiap hela napas itu adalah kesempatan !

Rahasianya ada pada jiwa. Dengan sedikit kemauan, usaha, dan penantian…

Rupanya demikian….

percuma tanpa senyuman


“Semua orang tahu apa itu keberhasilan, tapi tidak semua orang mengerti bagaimana merekah senyuman !” – Christopher Reginald

Ketika kamu berusaha, ketika kamu ujian di sekolah, atau sekedar ketika kamu bisa menyelesaikan sesuatu tepat waktu, apa yang kamu lakukan? Atau apa yang kamu rasakan? Seberapa besar kebahagiaanmu?

Kurasa setiap orang akan mempunyai jawaban yang berbeda-beda. Ada seorang kawan yang bilang pada saya. “Yah saya bersyukur, tapi toh semua itu adalah hasil dari jer payah saya selama ini. Trade off lah”. Ada juga yang bilang “Nikmatilah, karena semua itu ada dan nanti pasti ada masa sulit yang menggantikannya” dan masih banyak lagi jawaban-jawaban beragam yang timbul dari pikiran saya,kamu, dan mereka tentunya. Intinya ketika ‘memperoleh sesuatu’ kita kadang merasa ‘biasa saja’ atau menikmatinya namun sudah bersiap ketika ‘badai kehidupan’ datang. Lalu bagaimana bila kita sedang berada ‘dibawah’ ?

Ada satu kejadian sederhana yang kadang secara tak sadar kita buat, refleks kita lakukan. Apa itu? Coba ingat-ingat kembali. Pernahkah kamu begini ? Ketika kamu kesulitan rasanya dunia sedang merendammu dalam masalah tanpa batas, reaksi kita? Mengeluh & memohon ! ya bukan ? jarang dari kita yang tertawa riang saat masalah itu terasa lekat dengan kenyataan. Jarang atau bahkan tidak pernah optimisme bahwa ‘habis gelap terbitlah terang’ itu muncul benar dalam tingkah laku, kata bahkan mungkin tak sempat lewat di pikiran kita.

Lalu dimana enaknya hidup kalau demikian?

Ketika kita menang kita sibuk mempertahankan title juara. Saat kalah telak, kita sibuk untuk mencari salah kita mencari bagaimana kita bisa menang. Itulah kita...manusia! manusia itu diberi segalanya untuk maju. Namun dia mengorbankan segalanya untuk maju.

Bukan..bukan tak boleh maju tentunya…namun pemaknaan kita ketika maju tak optimal…ketika mundur apa lagi…

Mungkin dari tulisan ini saya ingin mengajak semua jiwa mencoba menjadi manusia yang mengalir dan sederhana. Bukan tanpa visi dan misi serta semangat. Namun mencoba menjadi kekinian yang sungguh-sungguh. Mencoba menghayati apa yang terjadi dengan alas syukur penuh..

Karena kepedihan tidak akan berharga bila tidak menelurkan senyuman, apa lagi kebahagiaan. Kebahagiaan atau moment bahagia takkan berarti penuh dan jadi percuma, tanpa sesimpul senyuman…

Begitu bukan?

Mampet !


"mungkin berat beban di hati tak kuasa tuk kau tangguhkan..." - "Senja" by D'Fx Band

Pernah merasa ada di posisi tak banyak bisa berbuat? berkata-kata bagus, jadi norak, mau berkarya bawaannya ngantuk, mau berkata 'males' karena gak ada artinya. 'kosong'?

Saya rasa semua orang pernah mengalaminya. mau maju adalah cuma angan-angan yang tertutup awan tebal yang tak punya nama...mungkin kalau nama-nama awan ada "bla bla bla nimbus" ini hanya tak bisa nembus-nembus

Dibawah angan sudah ada sejuta makna yang siap 'naik cetak' jadi tulisan, kalau buat seorang pengambil keputusan, sudah ada produk baru siap launching yang siap keluar. tapi ntah apa namanya, yang jelas ada saja kendalanya..

Mungkin anda bingung kenapa saya malah menulis curhat colongan ini disini. saya juga tak paham kenapa, tapi saya mungkin bisa menelurkan satu kesimpulan positif paling tidak. Apa itu?
bahwa dalam situasi apapun kita harus tetap bisa menghasilkan sesuatu. menghasilkan bukan hanya materi tentu saja. curhatan itu juga hasil, hasil yang mengingatkan kita betapa berbahagianya kita ketika bisa menghasilkan 'seperti biasanya' atau mengingatkan kita untuk tetap terus berusaha ketika ada dalam kondisi tak enak, karena dari kondisi tak enak kita bisa menyaring intisari manfaat juga...rupanya....

Mungkin tidak hari ini, tapi pasti...satu hari atau waktu nanti ada lagi karya yang menarik untuk ditulis, mahadaya imaji yang jadi inspirasi, dan segala macamnya.

Mungkin pesannya sederhana jadinya. kalau lagi tidak bisa berkata-kata atau berkarya, jangan diam tapi juga jangan paksakan semuanya. ungkapkan saja ! karena dari apa yang mampet ini, ada kok sesuatu yang masih pantas untuk dinikmati. pantas untuk disyukuri. pantas untuk di ingat di lain hari.

Gerbang Inspirasi

(dari kontempelasi menjadi inspirasi & dari bayangan menuju kenyataan)

“Maaf…maafkan aku…aku harus beranjak dan pergi ke seberang sana ” ucap sosok itu pada bayangan dibelakangnya. “Kamu boleh ikut, tentu! Kamu adalah bagian tak terpisahkan dariku selama ini” katanya lagi.

“Tuhan sudah membukakan jalan pikiranku, merelakan hatiku, dan DIA juga sudah mengajak aku kesana. Jadi tentunya aku harus bergerak maju bukan?” tanya sosok itu mantap pada bayangan.

Sosok itu diam sejenak, memperhatikan liuk bayangan yang memendar dan kadang hilang tergantung cahaya. Lalu dia menghela napas dan berkata “Yah aku tahu..terlalu banyak memori yang tersimpan diantara aku dan kamu. Aku juga tahu kalau apa yang sudah dilalui sudah terekam sempurna diantara alamku dan alammu. Tapi hari ini tetap hari ini bukan? Dan aku harus tetap berjalan walau dengan sebelah kaki sekalipun kan ?”

Sosok itu terduduk, ia melipat kakinya. Bayangan itupun mengkerut.

Lalu si sosok itu berkata lagi “Yah aku tahu terlalu indah untuk dilupakan, dan terlalu pedih untuk tidak diingat. Maka itu kuajak kamu. Aku tak pernah meninggalkan secuilpun masa itu. Yah? Ikutlah bersamaku. Tuhan itu tak mungkin membohongiku apalagi kamu soal hal diseberang sana !”

Bayangan itu lalu seakan pudar karena kegelapan.. Walau dengan ragu, sosok itu berdiri dan melangkah walau berat sambil berkata tanpa menoleh pada bayangannya “Aku tak tahu apa itu pilihanmu. Tapi aku tahu bahwa kamu dan masa laluku tidak bisa hilang ! kamu adalah pembuat kesempurnaanku ! pasti ! dan selalu begitu !. Kini inilah pilihanku..aku akan menuju kesana. Walau aku tahu kepedihan akan makin masam, dan senyuman akan makin mahal mungkin”

Sambil melangkah tegap ia berkata. “Sudah cukuplah kita sedu. Sudahlah. Didepan ada matahari tujuan yang bisa kita raih. Kita sudah terlalu lama dalam pemikiran tanpa aksi. ! Karena kontempelasi tanpa aksi adalah palsu!”

Dan ketika ia lewati gerbang itu, terik cahaya menyinari dirinya sehingga cerah terlihat tujuan itu walau terik. Dan dibaliknya dia kembali..si bayangan telah kembali…dan mengikutinya lagi…menuju…INSPIRASI !