DIAM


Disatu sisi...
katanya 'diam adalah emas' yang lebih berarti...

Katanya jiwa akan lebih bisa jernih...bersih...
melihat semuanya dengan mata yang tak terlanjur keceplos bicara...

Di sisi lainnya..
katanya diam itu tidak membuat masalah sampai pada ujungnya...

Karena diam menurut ini paradigma...
tak lain hanya bertahan...tanpa merubah semuanya....

Kalau begitu mana yang benar jadinya?

Kalau bermain ilustrasi
keduanya punya kebenarannya sendiri-sendiri...
Diam membuat seorang terlihat begitu brilian menghadapi masalahnya..
Namun diam juga yang membuat sepasang jiwa cerai juga karena kian tak mengerti satu dan lainnya....

ini sungguh sebuah tanya...
bukan petuah atau ilham bijaksana...

yang kutahu satu...
bila sesuatu itu benar harusnya dia diungkapkan..dikatakan...
dan diam itu hanya salah satu CARA untuk menggapai tujuan...
bukan solusi, namun emisi untuk mencapai ujung itu...

begitukah?
sampaikan berbeda dengan katakan....
karena sampaikan berarti kita sudah semua mempertimbangkan
dari tujuan hingga CARA
karena pemenang bukan orang yang tahu TUJUAN...
pemenang adalah orang yang memiliki dan menjalani CARA mencapai TUJUAN...
Dimana DIAM bisa jadi cara atau halangan mencapai cahaya itu sebagai berkah....

Terapi Syukur : Pulang



Stasiun Gambir, Jakarta,Medio 2009

'Sudah lama juga rupanya tanah itu tak kupijak' pikir seorang pemuda 30an tak lama dia duduk dikompartemen kereta.

Wajahnya kemerahan karena antrian panjang memasuki kereta membuatnya berkeringat. Wajahnya terlihat cukup termakan usia di usianya yang baru 30an itu. Pakaian yang sedikit lusuh karena berdesakan coba dirapihkannya usai duduk. Lalu dipasangkannya earphone yang tersambung dengan Ipodnya.

Gerbong yang ditempatinya sedikit sepi. Kapasitas sekitar 20 orang terisi hanya 4 orang. 'mungkin karena kereta malam' pikirnya. Hal itu membuat dia lebih banyak melempar pandang keluar jendela. terlihat sejenak jalan-jalan kota, atau terkadang rumah kumuh yang menempel di jalur kereta. Lemparan pandang yang lama hingga ia teringat masa-masa ia merantau ke kota.


Satu sore, di pendopo rumah, tigabelas tahun yang lalu...
"Tidak bisa ! kamu harus teruskan usaha ini !" ucap keras seorang bapak berperawakan sedikit bungkuk berusia lima puluhan.

"tapi aku sama sekali tidak mengerti dan menjiwai tenunan Pak. Aku benar-benar tidak menyukainya."

jawab anak laki-laki tertuanya, sambil duduk di kursi 'terdakwa' bapaknya.

"Lalu untuk apa aku sekolahkan kamu selama ini?? mana balasanmu? setelah lulus lalu kamu kabur begitu saja? ke kota? mau jadi apa kamu disana??? ngerti apa kamu???" tanya sang bapak dengan nada remeh pada anaknya.

"Aku bisa jadi apa saja ! aku tak ingin seperti anak-anak disini yang ujung-ujungnya hanya hidup antara rumah dan pasar! buat apa saya sekolah kalau begitu !' jawab sang anak gusar sambil berdiri."Maaf pak, saya lancang memilih pergi...." ucapan terakhirnya itu terdengar lebih lirih...

Lalu yang tersisa hanya ingatan bahwa pipinya merah bekas tamparan, dan ketika ia berangkat dengan tas seadanya karena bapaknya marah besar.

Kereta...2 jam setelah berangkat.....

"Hmhhh...seperti apa kota itu sekarang? bapak seperti apa ya? masihkah ia marah?" pikir pemuda itu. Sebentar ponselnya bergetar.ada e-mail masuk yang melaporkan soal beberapa hal yang ditinggalkannya di Jakarta. Lalu dia hanya mengambil template yang menjawab "i'm on leave now, for any corporate needed please call or mail to Dani -021.555xxxx"

kembali pemuda itu pada lamunannya. Dia coba menelaah,apakah ia yang salah, atau apa yang salah.sudahtiga belas tahun tak ada tegur sapa.Hanya sesekali surat menyurat basa-basi pada ibu dan adik-adiknya. "aku tahu aku terlalu memaksakan. "Tapi aku sekarang jauh lebih bersyukur dan bisa jadi orang lebih berguna. Lalu aku harus bagaimana nanti?" pikirnya dalam-dalam.

Stasiun Balapan, Jogjakarta, dini hari
Perjalanan panjang rupanya telah membuat pemuda ini terlelap. Ketika terbangun, dia dibangunkan oleh petugas kereta yang bilang sudah sampai di Jogja. Sedikit merapihkan pakaian dan menggendong ranselnya diapun bergegas keluar. Sesampainya diluar dia mencoba menghubungi nomor ponsel supir penjemputnya yang sudah disediakan. Usai tak lama menunggu iapun dijemput, dan ia diantar menuju ke hotel.

"Kenapa ke hotel pak?" tanya si supir. Lalu dia hanya menjawab "masih terlalu pagi pak, nanti siang saja saya diantar ke rumah", lalu supir itu menjawab "baik pak kalau begitu, bapak jangan lupa kalau malam nanti mesti ketemu Sultan untuk urusan kawasan industri itu. Saya diminta kantor ingatkan bapak." Lalu ia hanya mengangguk


Hotel, Jogjakarta, Jam 8.00 pagi
"kenapa orang macam aku harus takut bertemu keluargaku sendiri? apa ini yang namanya rasa bersalah?" pikir pemuda itu ketika duduk di restaurant hotel dengan secangkir teh hangat dan beberapa lembar roti dihadapannya. Lalu ponselnya bergetar, dan ketika diangkatnya...

"Mas...dimana sih? sudah sampe jogja toh??? atau jangan-jangan kamu batal lagi karena ada meeting?" suara adik perempuan terkecilnya nyerocos ditelinganya.

"Nggak...mas tadi ke hotel dulu, siapkan bahan buat ketemu sultan nanti.habis ini Mas langsung kerumah. yah?Oleh-olehmu dan mbakmu sudah ada di tas kok." jawabnya yang disambung dengan "ASik!!!! matur nuwun loh mas!!!"


Rumah, Jogjakarta, siang itu...
"Mas!!!!" teriak adik kecil perempuannya ketika dia keluar dari mobil, berlanjut dengan sambaran pelukannya dan adik keduanya.

Tak jauh darisana, ibunya berjalan perlahan lalu pemuda itu menghampirinya dan mencium tangannya. Lalu sang ibu mengecup kening pemuda itu, dan hanya bilang "Akhirnya kamu pulang nak...tuh bapakmu sudah nunggu di dalam"

Sampai di dalam Pemuda itu sempat kikuk karena tatanan perabot lumayan banyak berubah, hingga akhirnya ada suara dibelakangnya "Nak....."

Ntah mengapa kaki pemuda itu langsung bergerak cepat...menghampiri sumber suara tadi....ketika kian dekat...pemuda itu sujud dan mencium tangan sumber suara tadi..yah sang Bapak...

"Akhirnya bapak tahu dan yakin bahwa ada yang lebih berharga dari tenunan itu." Kata-kata itu begitu lancar keluar seakan sudah dipersiapkan lama. Lalu si pemuda menegadah menatap wajah bapaknya yang sudah terlihat jauh lebih renta. "Tanpa tahu bagaimana keluarga ini memulai usaha tenun, saya tidak akan sesukses ini juga pak" Lalu sang bapak mengangkat anaknya dan memeluknya.


Perjalanan ke Kraton, Malam itu...
"Tak ada yang sulit rupanya....tak ada sama sekali....kecuali menerima dan membiarkan waktu menjelaskannya" pikir pemuda itu.

"seperti halnya setiap project atau pekerjaan, kurasa hidup juga begitu. ada hal yang tak bisa kujawab sampai kulakukan dengan sebaik-baiknya..., paling tidak kini aku tahu bahwa bapak bisa meneteskan air mata bahagia karena sukses ini, walau dulu aku harus menahan tangis perih...tiga belas tahun lamanya bertanya-tanya...." makin membatin si pemuda, sampai akhirnya ia harus turun di pendopo untuk bersiap presentasi pekerjaannya pada Raja tanah jawa itu.



"Saat KITA terlahir ke dunia, semua orang tersenyum
dan hanya KITA yang menangis...
Jalanilah hidup dengan baik supaya saat kita meninggalkan dunia,
semua orang menangis
dan hanya KITA yang tersenyum..."
Annonymous (taken from Cherly Melinda FB note)

Terapi Syukur : Diet (antara BUTUH, INGIN, dan PERLU)


Setiap orang selalu punya alasan untuk memulai. Memulai apapun, apalagi itu adalah suatu hal yang dianggapnya 'baik'. Begitu juga aku. Walau mungkin apa yang aku mulai ini adalah hal paling memalukan atau hal paling jenaka yang pernah coba kubagikan bagi sesamaku. Cerita sederhana yang menyimpan sedikit pesan yang mungkin tak sesederhana. kelihatannya Cerita tentang bagaimana manusia 'gembul' sepertiku mencoba 'memaintain' nafsu makannya. Sederhananya (kompleksnya akan kupaparkan nanti...)ini cerita soal : DIET.

Kata orang, diet itu tidak makan ini, itu, dan menghindari mengkonsumsi ini-itu diatas jam segini,atau ketika begini dan begitu. semuanya syarat. Dan akhirnya banyak orang termasuk aku mencoba ini dan itu. Hasilnya? hmhhh....sepertinya bisa dihitung siapa yang sukses.

Ada lagi pendapat lain diet itu harus olah raga ini, dan itu.....hasilnya? olah raga itu bikin lapar. yang ada habis ngegym biasanya banyak orang langsung makan. Tidak di fastfood memang, tapi di counter sebelahnya (sebagai suatu pembenaran).


Apa masalahnya?
Ketika aku memulai mencobanya akupun begitu, bahkan jujur sampai detik ini begitu. Bahkan tololnya lagi, aku mencoba beberapa macam asupan khusus (suplemen, and bla bla bla) untuk menginstantkannya. yang hasilnya? sedikit yang puas (Wong, kita kelebihan asupan kok ditambahkan asupannya...aneh...)

Sebenarnya kalau aku pikir-pikir badan kita itu semacam kebiasaan.

Ketika kita benar-benar kelaparan katakanlah itu kita namai PERLU. ke'perlu'an ini adalah yang sesungguhnya harus kita cari. Layaknya perencanaan keuangan keluarga, ini semacam biaya sandang,pangan, dan papan...(primer)

Namun seperti biasa kalau orang sudah mampu lebih, kadang kita mempunyai keINGINan untuk ini dan itu. seperti realita kehidupan, setelah punya rumah, ingin punya dan merasakan rumah lebih besar. Mobil jadi mobil kedua atau yang lebih mewah.

Dan kegemukan (kecanduan, atau segala macam kelebihan 'negatif' lainnya) kurasa timbul ketika keINGINan kita mulai menyamarkan segala sesuatu yang PERLU. Hingga kadang-kadang badan ini merasa BUTUH sesuatu. padahal apakah PERLU atau karena INGIN? coba tanyakan pada diri kita masing-masing.


Berbahagialah !
Kalau ditanya cara diet (mengecilkan perut, atau segala macam diet dari kecanduan ini-itu, kebiasaan buruk ini-itu) mungkin akupun masih harus menjalaninya lebih banyak dan lebih giat.

Namun paling tidak dari perjuangan melewati hitungan kwintal menjadi kilo walaupun masih jauh dari ideal apa lagi six pack. Saranku...BERBAHAGIALAH!

Kenapa berbahagia? Karena hanya orang yang menjalani hidupnya, makannya, kebiasaannya dengan berbahagia tahu benar apa yang memang dia PERLUkan.

Orang yang berbahagia tahu benar cara bagaimana mengontrol keINGINnannya sehingga bisa membedakan mana yang BUTUH atau tidak saat ini. Dan aku setuju akan semua ini.

Aku tidak kehilangan sekilopun dari berat badanku ketika aku merasa makanan-makanan yang kutelan untuk diet itu hanya numpang lewat kerongkongan karena memang tidak 'berasa' apa-apa.

Aku mulai kehilangan kilo demi kilo berat badanku ketika aku merasa cukup dengan mengasumsi yang 'baik' itu karena aku tahu itu PERLU. aku mulai sedikit banyak berkeringat dengan exercise itu bukan karena aku HARUS namun karena aku PERLU itu untuk mengimbangi kelebihan 'gembul'ku ini.

Dengan berbahagia, aku juga tidak segan membiarkan creamy latte atau steak nikmat masuk kekerongkonganku karena aku tahu ada saatnya memuaskan keINGINnan asal aku tahu itu bukan suatu keBUTUHan.

Namun satu hal. Aku Malu bahwa sebagai ciptaaan yang sempurna, aku jauh dari syukur, bahkan soal urusan mengisi perut yang seharusnya urusan di luar kepala. Mungkin bukan hanya urusan perut tapi urusan kita lainnya yang berhubungan dengan CONTROL. Karena bukankah mahkluk ciptaanNya yang paling sempurna tahu yang mana baik dan buruk? Lalu bagaimana bisa tahu kalau membedakan PERLU, INGIN, dan BUTUH saja kita tidak bisa?

Kurasa pemenang urusan diet (makan, atau kebiasaan lainnya) bukan yang berhasil mencapai target kilogramnya, atau target akhirnya semata. Namun dia yang berhasil hidup berbahagia, dan bisa bedakan dengan jelas secara otomatis di hidupnya. antara PERLU, INGIN, dan apakah dia BUTUH.

Rasa


by : Aditya Hamzah

Ada rasa yang tak bermakna

Atau karena aku yang tak merasa ?

Mungkinkah ..?

Ini hanya sebuah raga tanpa jiwa ?


Apakah ini bagian surga yang tak dapat ku jamah ?

Tanpa kata..

Kuterus mencoba tuk mengikutinya

Menelusuri kemana arah yang tak menentu

Tapi hingga kapan ???

Hingga datangnya masa yang tak terduga???

Atau hingga rasa itu mau mengungkap

Semua fenomena yang selama ini tak terbaca

Dan berjuang sampai datang masanya

Ketika mulut telah enggan bersua


by : Aditya Hamzah


Ketika mulut telah enggan bersua,

Aku mulai terlena

Dalam imaji tak berkata..

Mereka seolah tak pernah lelah,

Dan tak jua menyerah,

Untuk mengumandangkan riuh rendah

Dalam jiwa yang gerah..


Mereka

Tempatku tertawa dalam ceria

Tempatku menangis dalam duka

Tempatku mengeluh dalam gundah

Dan tatkala puncak kelelahan menyapaku

Mereka seolah tahu

Dan menghiburku

Dengan semua senandung merdu

Hingga mata ini terpejam

Hingga aku terlelap

Dan aku siap,

Tuk jalani sebuah lembaran baru..


Ketika mulut telah enggan bersua,

Hati ini..

Raga ini..

Tak akan lelah,

Mengucap syukur pada-Mu..

Atas anugerah yang Kau berikan padaku,

Melalui mereka..