Disebuah pemakaman bercuaca cerah di halaman belakang sebuah rumah besar di kaki bukit,
Seorang anak memeluk foto ayahnya. Dibelakang foto itu terjepit sebuah buku kusam dengan sampul kulit yang terlihat sudah lapuk. Anak itu berdiri paling depan, berbaju hitam-hitam. Kelopak matanya bengkak tanda dia sudah terlalu banyak menangis. Namun simpul senyumnya kadang terlihat ketika beberapa orang menghampirinya saat upacara pemakaman itu berjalan. Ia hanya sering berkata "ini yang diminta papa, dan dia sudah menerima yang dimintanya, dia ingin terus bersama istananya, ia ingin bersama kerajaannya yang sepi ditempat ini"
Sang ayah adalah seorang Jendral besar. Dia lahir di masa perang kemerdekaan. Dan dia wafat ketika melihat negerinya sudah membangun tanah yang diperjuangkannya. Maka itu dia ingin beristirahatdi rumahnya sendiri...di tanahnya sendiri...Dia meninggalkan kekayaan yang cukup untuk anak semata wayangnya itu. Istrinya sudah tiada, jadi anak laki-lakinya itu akan berdiri sendiri kini. Sebuah rumah megah, aset beberapa milliar dollar, dan sebuah buku kusam yang kini ada pada anaknya. Oh ya...Putranya adalah Anak muda, 20an tahun, sarjana, dan kini sedang memulai hidupnya sebagai 'manusia utuh' kata bapaknya.
Sang ayah adalah seorang Jendral besar. Dia lahir di masa perang kemerdekaan. Dan dia wafat ketika melihat negerinya sudah membangun tanah yang diperjuangkannya. Maka itu dia ingin beristirahatdi rumahnya sendiri...di tanahnya sendiri...Dia meninggalkan kekayaan yang cukup untuk anak semata wayangnya itu. Istrinya sudah tiada, jadi anak laki-lakinya itu akan berdiri sendiri kini. Sebuah rumah megah, aset beberapa milliar dollar, dan sebuah buku kusam yang kini ada pada anaknya. Oh ya...Putranya adalah Anak muda, 20an tahun, sarjana, dan kini sedang memulai hidupnya sebagai 'manusia utuh' kata bapaknya.
Usai pemakaman hujan turun rintik-rintik, tanah bernisan itu basah dan masih memerah. Si anak duduk di depan perapian di dalam rumah...sendiri...karena orang-orang yang biasa membantu di istana itu disuruhnya pulang untuk berisitirahat setelah beberapa hari hiruk pikuk pelepasan jenasah sang ayah. Ia bersandar dengan tatapan kosong. Menerawang ke arah perapian yang bersemangat membakar kayu-kayu di dalamnya.
'Kemana akan kubawa hidupku usai hari ini' , tanya anak itu dalam hati. Kini seisi rumah ini kosong. Membuat rumah yang dulu terasa harus diperluas ini kini terlalu besar untuk ditempatinya sendiri dengan beberapa orang yang bekerja untuk rumah ini. Tanya itu membawanya pada keinginan membaca warisan paling unik yang ditinggalkan ayahnya. Buku, entah ini buku harian, atau apa...yang jelas buku ini kusam, namun bukan buku murah karena covernya terbuat dari kulit. Kalaupun buku ini tak berarti, buku ini sudah berumur lama kelihatannya. Karena ada emboss angka 1950 pada cover buku itu. Buku, yang selama ini tak pernah terlihat oleh si anak di seluruh penjuru rumah. Buku, yang tiba-tiba diberikan sang ayah saat dirinya sedang tersengal menghadapi maut. Buku yang disebut ayahnya 'dari sini kamu akan tahu bagaimana menjalani hidup bagiku...'
"ini adalah kebesaranku !" tulisan sang ayah yang khas dibacanya di lembar pertama buku itu. tulisan itu dominan di lembar pertama ditemani beberapa tulisan kecil yang pudar seperti pernah terkena air. Lalu si anak membuka halaman-halaman berikutnya. Dimana dirinya membaca perjalanan karier gemilang ayahnya di militer hingga satu saat penyakit tua mulai menggerogotinya. Dimasa itu ayahnya lebih sering menulis, dengan sudut pandang berbeda..
Hilang semangat....
Lalu dihalaman lainnya...
Tuhan bukan teman yang baik...
"Aku berharap aku bisa sembuh lebih cepat. Aku berharap anakku segera lulus dan membawakan aku cita-cita besarnya menjadi kenyataan. Namun penulis cerita kehidupanku rupanya sedang tidak bersahabat...Dia sedang pelit memberikan kelegaan. Anakku gagal menembus tugas akhirnya...dosen keparat itu rupanya masih mengesalkan. Aku tak pernah meragukan keseriusan anakku. Dia adalah aku di masa mudaku...Aku akan memberikan apapun untuk citanya...pasti..."
Lalu si anak menutup buku itu. Dan terlelap. menanti esok menatapnya...
'Kemana akan kubawa hidupku usai hari ini' , tanya anak itu dalam hati. Kini seisi rumah ini kosong. Membuat rumah yang dulu terasa harus diperluas ini kini terlalu besar untuk ditempatinya sendiri dengan beberapa orang yang bekerja untuk rumah ini. Tanya itu membawanya pada keinginan membaca warisan paling unik yang ditinggalkan ayahnya. Buku, entah ini buku harian, atau apa...yang jelas buku ini kusam, namun bukan buku murah karena covernya terbuat dari kulit. Kalaupun buku ini tak berarti, buku ini sudah berumur lama kelihatannya. Karena ada emboss angka 1950 pada cover buku itu. Buku, yang selama ini tak pernah terlihat oleh si anak di seluruh penjuru rumah. Buku, yang tiba-tiba diberikan sang ayah saat dirinya sedang tersengal menghadapi maut. Buku yang disebut ayahnya 'dari sini kamu akan tahu bagaimana menjalani hidup bagiku...'
"ini adalah kebesaranku !" tulisan sang ayah yang khas dibacanya di lembar pertama buku itu. tulisan itu dominan di lembar pertama ditemani beberapa tulisan kecil yang pudar seperti pernah terkena air. Lalu si anak membuka halaman-halaman berikutnya. Dimana dirinya membaca perjalanan karier gemilang ayahnya di militer hingga satu saat penyakit tua mulai menggerogotinya. Dimasa itu ayahnya lebih sering menulis, dengan sudut pandang berbeda..
Hilang semangat....
"Aku kini tak bisa berlari...langkahku berat, karena bekas luka perangku kini menjadi nyeri reumatik yang tak bisa berkompromi. Orang Belanda saja dulu bisa kuajak berkompromi, namun kenapa badanku sendiri tidak bisa kuajak berokompromi ? Apa keJendralanku sudah tak lagi berguna ? bahkan pada badanku sendiri ?"
Suatu malam di Singapore National Hospital
Lalu dihalaman lainnya...
Tuhan bukan teman yang baik...
"Aku berharap aku bisa sembuh lebih cepat. Aku berharap anakku segera lulus dan membawakan aku cita-cita besarnya menjadi kenyataan. Namun penulis cerita kehidupanku rupanya sedang tidak bersahabat...Dia sedang pelit memberikan kelegaan. Anakku gagal menembus tugas akhirnya...dosen keparat itu rupanya masih mengesalkan. Aku tak pernah meragukan keseriusan anakku. Dia adalah aku di masa mudaku...Aku akan memberikan apapun untuk citanya...pasti..."
Masih di Singapore National Hospital, di hari yang mulai membosankan
Sambil menitikan airmata karena ayahnya begitu bangga padanya, dia membalik lagi lembar demi lembar catatan harian ayahnya, sampai tiba-tiba dia menemukan nama ibunya : Alicia....
Alicia : Ketika aku sadar bahwa Tuhan itu baik hati..
"Ketika aku merasa tak berdaya. Aku malah merasakan bahwa Tuhan itu sangat suka datang di akhir sebuah cerita dengan hikmahnya. Alicia, istriku, dia inspirasiku, dan dia terlalu setia, bahkan ketika sebenarnya dokter mengatakan dia lebih lemah daripadaku dia terus menunjukan cintanya padaku. Selama ini aku hanya paling lama berbaring di rumah sakit tidak lebih dua pekan karena reumatik yang kini sudah mulai bosan datang padaku. Namun dia kini sudah sebulan membisu debekap stroke yang menghampirinya, namun senyumnya masih ada hanya dan hanya untukku. Perempuan yang menemaniku seusai kemeredekaan hingga kini. Dia yang membuatku belajar bersyukur. Aku masih ingat ketika aku mulai sulit berjalan dia membopongku walau kurasa dia juga menahan sakitnya. Namun diasetia...Semoga anakku nanti mendapatkan Alicia lainnya dalam hidupnya..."
Alicia : Ketika aku sadar bahwa Tuhan itu baik hati..
"Ketika aku merasa tak berdaya. Aku malah merasakan bahwa Tuhan itu sangat suka datang di akhir sebuah cerita dengan hikmahnya. Alicia, istriku, dia inspirasiku, dan dia terlalu setia, bahkan ketika sebenarnya dokter mengatakan dia lebih lemah daripadaku dia terus menunjukan cintanya padaku. Selama ini aku hanya paling lama berbaring di rumah sakit tidak lebih dua pekan karena reumatik yang kini sudah mulai bosan datang padaku. Namun dia kini sudah sebulan membisu debekap stroke yang menghampirinya, namun senyumnya masih ada hanya dan hanya untukku. Perempuan yang menemaniku seusai kemeredekaan hingga kini. Dia yang membuatku belajar bersyukur. Aku masih ingat ketika aku mulai sulit berjalan dia membopongku walau kurasa dia juga menahan sakitnya. Namun diasetia...Semoga anakku nanti mendapatkan Alicia lainnya dalam hidupnya..."
Di ruangan lain di Singapore National Hospital
Si anak tersenyum sambil membalik buku itu ke halaman terakhirnya
Pahlawan untuk seorang kesatria
Aku pikir aku hebat. hingga akhirnya aku dirumah ini, dimana aku merasa bukan apa-apa. Setelah tadi aku menghantar istriku ke peristirahatan terakhrinya, aku merasakah bahwa sebagian semangat hidpuku sudah tiada. Dia adalah semangatku. Namun Tuhan menyediakan bagiku lagi kesatria harapan hatiku serupa puteraku. Dia harapan yang menghidupiku di atas kursi roda ini. Namun baiknya kusimpulkan satu hal. Bahwa Aku bukan pahlawan bagi diriku, aku hanya diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin negeri ini keluar dari penjajahan dan itu saja. Selebihnya hanya ada istriku, puteraku dan Tuhan yang menjadi pahlawan hidupku. Istriku dengan cintanya adalah mengapa aku bersemangat. Puteraku dengan citanya yang membuaku bertahan, dan Tuhan adalah pembuat cerita yang takkan pernah salah, pemberi segala yang baik pada waktunya.
Pahlawan untuk seorang kesatria
Aku pikir aku hebat. hingga akhirnya aku dirumah ini, dimana aku merasa bukan apa-apa. Setelah tadi aku menghantar istriku ke peristirahatan terakhrinya, aku merasakah bahwa sebagian semangat hidpuku sudah tiada. Dia adalah semangatku. Namun Tuhan menyediakan bagiku lagi kesatria harapan hatiku serupa puteraku. Dia harapan yang menghidupiku di atas kursi roda ini. Namun baiknya kusimpulkan satu hal. Bahwa Aku bukan pahlawan bagi diriku, aku hanya diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin negeri ini keluar dari penjajahan dan itu saja. Selebihnya hanya ada istriku, puteraku dan Tuhan yang menjadi pahlawan hidupku. Istriku dengan cintanya adalah mengapa aku bersemangat. Puteraku dengan citanya yang membuaku bertahan, dan Tuhan adalah pembuat cerita yang takkan pernah salah, pemberi segala yang baik pada waktunya.
Istanaku. tempat dimana aku ingin dimakamakan di sisi istriku
Lalu si anak menutup buku itu. Dan terlelap. menanti esok menatapnya...
No comments:
Post a Comment
Siapapun jiwa yang berucap, baiknya aku mengenalmu, dan kamu akan lebih pahami aku adanya