4 tahun, 4 perjalanan, 1 yang belum berubah


Wibisana 17, di hari raya Natal

Untuk semua pengagum keajaiban natal, dan semua kalian yang rindu akan keabadian rasa 'kasih' di tiap jiwa...

Aku ingin berbagi seperti kataku sebelumnya. Aku ingin mengajak bukan hanya pikiran yang berpikir, tapi jiwa juga. karena jiwa itulah sumber segala inspirasi Ilahi sesungguhnya. Tuhan tidak menyentuh manusia melalui pikirannya. Manusia punya otoritas penuh atas pikirnya. Manusia berbicara dengan Tuhannya melalui jiwa, dan kenyamanan atau lukanya akan dirasakan oleh hati. Oleh karena itu, permenunganku hari ini mengajak jiwaku, jiwamu berpikir. Apa yang telah terjadi? Apa yang telah kau lalui? Apa yang masih kurang baik di hidup ini? Apa yang Tuhan sesungguhnya kehendaki dalam hidup kita ini? Yah...mungkin karena semua tanya itu, boleh kita menamainya...Kontempelasi...

Aku memulainya dari di suatu musim natal 5 tahun yang lalu, Saat itu aku baru satu semester ada di bangku kuliah. 2004. yah...2004. Saat itu aku sedang jatuh cinta pada kehidupan 'baru'ku. Kehidupan baruku sebagai seorang yang jauh lebih 'mau dibilang' dewasa, karena aku sudah bertitle 'mahasiswa'. Jatuh cinta itu juga yang membawaku pada keanggunan yang tak terlupakan. Keanggunan yang membuatku melakukan refleksi yang mirip seperti hari ini. Bedanya? saat itu aku berikrar sebagai silih mencintai, pada Ilahi, dan kini ikrar itu masih sebatas janji, dan aku tidak lagi memiliki, namun menyisakan cinta itu dalam hati..

Aku ingin bicara soal ikrar itu, bukan soal cinta atas keanggunan itu (biarlah yang anggun tetaplah anggun menurut persepsiku). Pernahkah kamu berikrar wahai jiwa? "Aku ingin begini...aku ingin begitu" lalu Tuhan seakan memberikan kesempatan pada kehidupanmu untuk melakukannya? melapangkannya..

Namun rupanya ikrar itu tak kunjung kau tepati...lalu kau mulai merasa tersisih, jalanmu mulai tak lapang, hatimu mulai tertekan terkadang. Kamu seakan ada dalam krisis (yang ternyata kamu buat sendiri) Atau apalah sejenisnya...

Aku sudah banyak kehilangan sejak ikrar itu. Namun di malam natal tadi, aku mengingat lagi ikrar itu. Ikrar yang harusnya sangat luar biasa membangun jiwaku. Namun tolerasi pikiranku yang otoriter atas duniaku menguncinya dalam-dalam. Hingga kini, aku mengingatnya kembali (aku tak suka menggunakan kata menyesal mungkin).

Mengingatnya menyadarkan aku banyak hal. Banyak hal yang jauh lebih luar biasa. Lebih megah...dari sekedar penyesalan. Kemegahan serupa 'Tuhan jauh lebih baik dari apa yang kamu pikirkan'

Dia,tidak picik di tetap menantiku dan kamu, mencoba berbagi jiwa kita denganNya. mencoba jujur dan belajar berpikir bersamaNya. Bukan untuk maju selangkahpun tak apa. Dia hanya ingin kita mantap berdiri. bukan karena pikiran berkata begini, namun karena jiwa kita terpanggil oleh karyaNya berada disini dan berlaku ini (apapun 'ini' kau artikan) Hingga hatimu akan terus bersuka.

Sederhananya, (karena wangi kue natal, dan hidangan lainnya mulai mengusikku.) ingatlah bahwa kadang kita tak bertumbuh bukan karena Tuhan, tapi karena ada yang belum terselesaikan. Pekerjaan Rumah yang punya dua sisi. Satu harus diselesaikan tentunya, dan yang lainnya menyadarkan kita bawha Tuhan adalah kekasih paling sabar yang ada. Yang menunggu kamu pulang, seperti 4 Tahun, 4 perjalananku, dia hanya menunggu 1 yang harus kuganti. satu ! dan dia tetap mengasihiku !

Tuhan memberkati kita semua ! Selamat Natal 2008 !

'Cukup Tangguh' atau 'Cukup Bijak' ?




Dari inspirasi utak utik dunia 'kata' di semesta maya pada malam tanpa judul,


Saya sedang asyik berpikir...ketika sebuah tanya membuntukan jalan pikir saya. Pertanyaannya, mana yang akan menang dalam pertandingan menuju 'pemulihan' di sebuah permasalahan, sosok yang cukup tangguh yang resisten akan terpaan masalah, atau...sosok yang cukup bijak memaintain masalah itu ?



Si tangguh : musuhnya mungkin adalah waktu


Saya coba melihat kasus-kasus sikap tangguh. Tangguh disini mungkin lebih kearah difensif terhadap terpaan. tidak melawan dengan asumsi "batu jangan dilawan dengan batu"


Dalam kenyataan, saya sering dengar ucap "kesabaran membawa berkah atau jawaban". Orang-orang yang mampu bertahan dan menunggu adalah orang-orang yang seakan layak untuk menerima 'fajar baru usai badai' dikehidupannya. Tapi apa selalu demikian? Jelas memang, kemampuan menahan terpaan seseorang memperpanjang 'nafas'nya dalam masalah yang ada. Tapi seberapa lama?


Kalau analoginya tim sepakbola. Tim yang cenderung bertahan, berarti berjuang melawan waktu. 2 x 45 menit di pertandingan normal. atau ditambah extra-time bila pertandingan itu harus ada pemenangnya. Tapi lalu ada pertanyaan, bagaimana saat harus menghadapi adu penalti untuk tentukan pemenang? Analogi ini seakan bertanya pada saya, bagaimana kalau masalahnya bukan waktu?

Si bijak : tujuanku adalah menyelesaikan semua itu !

Saya berpindah menjadikan diri menjadi 'si bijak'. Karena ketika waktu begitu lama atau bahkan berhenti, si tangguh menjadi buntu. Seperti es abadi di kutub yang tak cair diterpa lautan, sampai alam memiliki panas yang cukup atau berlebih untuk mencairkannya dalam kasus global warming mungkin.


Si bijak tidak bermain dengan waktu rupanya. Si bijak rupanya tahu kalau waktu memiliki kecerdasan berlebih untuk mengikis pertahan berlapis yang tangguh sekalipun. Si bijak mencoba mencari jalan lain. Dia mencoba bekerja sama dengan kecerdasan untuk menyelesaikan masalah ini secepat mungkin.


Namun, kecepatan membuat pola tak teratur kadang-kadang, membuat keteledoran yang memaksa masalah ini kian runyam.


Karena masalah ini kian pelik, si bijak kini mencoba mengarahkan perjalanannya dengan sedikit lambat. "Pelan tapi pasti" ucapnya, namun di balik itu si bijak memohon pada Penciptanya agar ia diberkatiNya dengan arah yang tepat.


Masalah tak berhenti dan tak berkurang membuat si bijak jengah dan berhenti sejenak. Dia mencoba mencari apa yang salah. Namun dia tak menemukannya. Hingga akhirnya dia meminta lagi pada Penciptanya, namun kali ini dia meminta kesabaran untuk hadapi masalah ini.


Selang lagi waktu, Si bijak, belum juga berhasil. Namun ia tak jemu datang lagi pada Penciptanya, dan dia kini meminta dan berusaha untuk menemukan jalan keluarnya, karena ia telah memiliki keyakinan akan arah yang tepat dan memiliki kesabaran. Dan akhirnya diapun bisa usaikan masalahnya.



'Cukup tangguh' atau 'cukup bijak' : kombinasi kecerdasan dan berkat !


Saya memperoleh sesuatu yang mungkin esensial akhirnya. Orang tak cukup tangguh karena kadang yang dibutuhkan bukan ketangguhan. Namun apa yang dibutuhkan? kadang kecerdasan kita membuat kita menjadi orang paling sombong yang membuat kita lupa dan malah tak temukan jawabnya.

Saya kini mengerti, bahwa waktu itu hanya gocekan lawan ketika kita harus menghadapi suatu masalah. Toh, bukan waktu masalahnya. Masalahnya adalah masalah itu sendiri.

Dalam menghadapi masalah, bukan seberapa cepat dan seberapa tepat sebuah tembakan, namun apakah tembakan itu menjadi sebuah gol dalam sebuah pertandingan sepak bola.

Rupanya, lebih penting untuk tetap on-track agar perjalanan tetap teguh untuk mencapai tujuan. Agar kita tidak buang-buang waktu untuk hal tak perlu. Tak perlu disini juga bukan 'tak perlu' dalam logika semata, melainkan 'tak perlu' yang juga menimang kemungkinan peran serta Tuhan di dalamnya.

Sebab rupanya saya melihat sesuatu yang mengecilkan saya selama ini. Saya lebih sering menghadapi masalah kalau tidak dengan difensif tanpa counter attack yang baik dan terencana, atau saya lebih sering membabi-buta, 'ingin cepat selesai a.k.a. instant' Jadi??? saya tak mendapat semuanya..

Masalah itu selesai dengan konsistensi, disiplin, penyerahan diri, ketahanan, dan senyuman rupanya. Sederhananya : Tidak setengah-setengah !