“ ’Forgiveness is’ the easiest thing to make everything better but the hardest thing to do also” – Pebyana Susanto
“Halo, Jakarta Personal Consulting, dengan Nurani disini, Can I help You ?” tanyaku seperti biasa ketika menerima telepon di kantorku.
“Bisa buat appointment?” jawab suara diseberang telepon dengan nada tidak kurang semangat.
“Ok, dengan saudara siapa ? jam 3 hari kamis ini bisa ?” jawabku, dan ia menjawab “ok jam 3. Saya Satria. Terima kasih…eh, maaf saya bicara dengan siapa tadi ?”
“Nurani, You can call me Rani. Ok See you then,” jawabku menyudahi pembicaraan.
Jakarta Personal Consulting, My room, Kamis, 14:23 PM
Rupanya clientku ini adalah Hadi Satria. Direktur Muda yang terkenal itu. Wajahnya sudah tak asing di talk show bisnis di TV. Tampan, cekatan, cerdas, dan terkenal adalah brand imagenya. Namun kenapa ya kira-kira dia consult ? Sejujurnya aku masih mereka-reka apa yang akan dibicarakannya. Pembicaraan lewat telepon kemarin baru sekedar reservasi soalnya.
“Ni, client has come tuh” begitu pesan resepsionisku di message chat kantorku di laptop.
Jakarta Personal Consulting, Consulting Room 1, Kamis, 14:50 PM
“Hei…apa kabar ?” tanyaku ketika masuk dan langsung menyodorkan tangan untuk menjabat tangannya.
“yah begitulah…heheheh, kalau tidak aku tidak datang kesini juga kan ?” jawabnya dengan tawa yang seakan tanpa masalah..
“ok…kita mulai. Sebenarnya ada apa sih bapak direktur ?” tanyaku mencoba membuatnya nyaman dan merasa bahwa aku tahu benar tentangnya….
“hei darimana kamu tahu ?” tanyanya “berita kemarin, talk show tadi malam, dan….” Jawabku sambil mengangkat tulisan editorialnya di bagian bisnis Koran pagi ini.
“ok…hmhh..Aku kesini karena jelas aku bermasalah. Kalau orang melihat aku seperti semua alasan kamu tahu aku seorang direktur, mungkin aku adalah salah satu most wanted man in the earth. Tapi aku bukan orang sesempurna itu.. “ katanya membuka konseling pagi ini.
Kalau aku lihat orang ini memang seperti bukan orang bermasalah. Tampilannya keren. Wajahnya pandai membagi senyum dan tatap keyakinan. Caranya bicara mantab. Tapi…ini cukup menarik.,..dia rupanya pandai memainkan tampilannya.
“lalu ?? masalahnya ? atau kenapa kamu merasa bermasalah kalau begitu ? apakah bisnismu ? atau orang disekitarmu mungkin ?” tanyaku
“bukan bisnis yang jelas. Bisnis adalah keadilan yang sempurna buatku, dibalik masalahku. Keluarga tepatnya. Keluargaku bermasalah” jawabnya dengan tetap membawa gaya diplomatisnya
“tunggu…kenapa bisnis kamu sebut keadilan ? memang ada apa ? jujur aku kurang paham…bisa kamu…” jawabku dan ia langsung memotong..
“Keluargaku bermasalah, bisa dibilang ‘nearly broken home’ family, atau ya kenyataannya ‘broken home’ but look outsidenya aja ga begitu. Nah bisnisku kan bertumbuh baik, dan kurasa itu keadilan dari yang maha kuasa.” Jawabnya, sambil membenarkan posisi duduknya.
“ok, aku mulai mengerti..boleh kamu ceritakan dulu masalah keluargamu ?” tanyaku.
“aku tak tahu mana benarnya. Sudah terjadi sebelum aku dewasa dan cukup mengerti. Kalau kini kulihat dari perspektif yang berusaha adil, kedua orang tuaku memiliki kesalahan masing-masing pada pasangannya. Saling menyalahkan membuat mereka jadi membenarkan penghianatan dan sikap jelek mereka terhadap pasangannya” jawabnya mulai terdengar sulit berbicara
“selingkuh ?berlaku kasar ?” tanyaku
“yah, keduanya.” Jawabnya “dan keduanya terus mengungkit masalah dari sudut kebenarannya masing-masing ketika merasa terpojokan ? “ tanyaku memotong.
“tepat seperti yang kamu duga.” Jawabnya mulai makin gelisah dan tak tenang.
“lalu apa masalahmu ? apakah kamu bagian dari korban kekasaran ? tapi jawabnya pelan-pelan saja yah, kalau ini talk show, rating talkshow itu pasti naik karena direktur kita sedang gelisah” tanyaku sambil memecah suasana.
“hehehe, yah mungkin begitu yah…aku tidak pernah jadi terlibat. Hanya terlibat keributan mulut saja, itupun hanya dimintai pendapat dan dibiarkan mendengar oleh mereka. Katanya agar aku tetap menghargai keduanya, agar aku tak menyalahkan keduanya karena keduanya tetap orang tuaku” jawabnya
“lalu jadi apa masalahmu sebenarnya ?” tanyaku. Sejujurnya aku penasaran. Kondisi ini sebenarnya adalah kondisi paling optimis dalam masalah rumah tangga, kecuali ada traumatic terhadap anak karena keterlibatan anak itu. Namun apakah iya sebesar itu traumanya ? kelihatanya Satria cukup tegar untuk itu, karena di bisnisnya dia terlihat manusia tanpa rasa takut.
“Aku lelah berada didalam kondisi ini. Menurutku aku bukan pihak yang salah. Namun kenapa aku harus tersiksa dengan ada disini. Aku memang tak pernah terlibat pertengkaran lebih dari pertengkaran mulut. Namun aku kecewa dan ini bukan ekspektasiku terhadap keluarga. Aku sudah berusaha mendoakan dan memberi pendapatku, namun kau tahu kan, Orang tua tetap punya sikap sok tahu. Dan aku menjadi tertekan karena aku tak bisa menjadi solusi. Aku malah merasa kian tak nyaman dengan keadaan ini. Apa lagi sih yang mereka cari ? toh aku sudah mencapai posisi yang bisa menyatakan bahwa mereka orang tua yang berhasil. Walau sebenarnya mereka menyusahkan hatiku ketika aku mengusahakan apapun dalam hidupku.
Mereka terpecah dalam mendidikku, sehingga aku harus memfilter semuanya sendiri. Belum lagi kalau mulai ada yang sok ngatur.aku kecewa karena aku seharusnya mungkin lebih maju dari ini kalau mereka bisa sekata dalam mendidikku. Kalau begini aku dewasa kan karena alamiah” jawabnya tanpa henti.
“kalau boleh aku mengintisarikan, kamu kecewa tanpa jalan keluar begitu?” tanyaku padanya. Dan ia mengangguk dengan wajah yang menggambarkan rona kekesalan.
“Yah…aku kecewa, karena aku tak ingin ada disini. Aku ingin mereka mulai sadar bahwa apa yang terjadi hanya menghambat perbaikan dan menghambat aku sebagai cita-cita hidup mereka” tambahnya…
“ok, ada lagi yang mau kamu sampaikan ?” tanyaku.
“intinya, kekecewaan itu, aku tak nyaman, membuat aku tak lagi bisa berinteraksi dengan baik dengan mereka, karena sikap mereka yang demikian. Mengalah satu sama lain sulit sekali karena pernah kucoba” jawabnya
“ok…I think we must end this consult now, because you’re look so emotional. Ok kan ? Gimana kalau kita atur schedule lagi ? atau mungkin kamu mau consult lewat email mungkin kalau kamu sibuk ?" tanyaku untuk menghentikan pembicaraan lebih lanjut, karena dia sudah terlihat tidak logis dan terlalu emosional.
“ok, mungkin itu lebih baik, email dulu mungkin sementara karena dua minggu besok saya ke Boston. “ jawabnya.
“susah ya orang sibuk.hehehehe.ok kalau begitu, kamu bisa kirimi saya hal-hal detail kenapa kamu begitu tak nyaman dan kondisi idealnya ? jadi selama business trip, aku bisa mempelajarinya lagi. Tidak keberatan kan ? oh ya kamu bisa tinggalkan kartu nama kamu untuk bisa ku kirim email atau? “ tanyaku dan dia menyodorkan satu kartu namanya, dan aku menukarnya dengan punyaku.
Dan sesi hari itupun berakhir begitu saja.
Jakarta Personal Consulting, My room, Kamis, 21:30 PM
(email alert), dan aku membukanya.
From: Satria, Hadi (mailto: hadi.satria@senterprise.com)
Sent: Tuesday, July 10, 2008 21:29 PM
Subject: details as request
Dear Rani,
Thx for the consult today, at least saya lega sekarang. Walaupun jelas masalah masih ada
Ketika memikirkan pertanyaan kamu, saya cukup terusik sebenarnya. Kenapa ? karena rupanya inti permasalahannya adalah itu semua mengganggu titik nyaman saya. Rasa ketidakterimaan saya yang buat saya tidak nyaman. Btw, here is my details :
1. Semua itu berulang dan ada pada pola yang sama → padahal harusnya bisa dibicarakan sekali dan selesai donk.. jadi saya kecewa.
2. Tidak ada yang mau mengalah → saya berharap berhentinya mereka mengungkit, benar2 menanggap tidak ada masalah dan mulai dari awal…saya marah sekali pada sikap mereka
3. Kemajuan hidup saya dan belajar hidup saya sangat diatur namun ada dua kutub tarik menarik yang mengatur → saya berharap kalau mereka hanya sebagai pemberi saran yang berbeda saya ok2 saja bukan pemarah karena tidak ikut pola mereka..
Sulit bersama-sama.→ setiap kali bersama mudah ada tensi tinggi, dan ujung2nya semua kembali ke hal-hal yang strict terhadap pola pikir masing-masing
Saya tidak apa-apa mengalah, namun saya harus tahu apa yang baiknya saya lakukan atau perbaiki. Saya lakukan itu karena saya sesungguhnya menghormati dan menyayangi keluarga saya..
Mungkin begitu kali ya ? trims.
(reply).
From: Nurani, nurani(mailto: nurani@JPcons.com)
Sent: Tuesday, July 10, 2008 21:40 PM
To: Satria, Hadi (mailto: hadi.satria@senterprise.com)
Subject: RE : details as request
Ok. I’ll review it first. Mungkin sementara begini. Ada baiknya kamu bukan hanya mengalah tapi menjawab kenapa kamu mengalah pada kondisi keluarga kamu. Ok ? Have a nice trip. Thx.
Jakarta Personal Consulting, My room, Selasa, 08:30 AM (12 hari setelah konsultasi tersebut)
(phone ringing)
“Jakarta Personal Consulting, Nurani speaking, Can I help You ?” . “Can we got next appointment ? ini Satria” kata suara di ujung telepon
“ow, hei sudah pulang ? ok. How about Tuesday again ? at the same hour ?” tanyaku sambil melihat kalender kerjaku. “deal, sori aku masih dijalan, call you later yah” jawabnya sambil diiringi nada putus.
Jakarta Personal Consulting, My room, Kamis, 15:02 PM (2nd consultation)
“May I came in ?” kata suara Satria dari luar pintu kamar kerjaku.
“Hei.please…take a seat…gimana-gimana ? Nice trip ?” jawabku mempersilahkan Satria masuk.
“So ???” tanyanya sambil duduk. “Begini Sat. Kenapa saya bilang waktu itu baiknya kamu mencari alasan sebenarnya kamu mengalah adalah supaya kamu punya motivasi dasar menjalani anggaplah terapi ini” jawabku sambil duduk didepannya
“ok, gw merasa mereka tetap keluarga gw, dan itu motivasinya mungkin yah. Gw mau menyayangi keluarga gw dengan sepenuhnya, ga setengah-setengah” jawabnya lugas.
“Ok, kalau begitu kamu sudah siap untuk tahu apa masalah kamu dan apa yang baiknya kamu lakukan kalau motivasi kamu begitu.” Jawabku sambil menghela napas.
“kalau menurut analisaku. Kamu mudah sekali kecewa, dan mudah sekali marah dengan kondisimu karena satu hal. Hal itu adalah bahwa kamu walau berusaha mencari jalan yang terbaik untuk keluarga kamu, kamu belum pernah bisa memaafkan secara penuh. Baik keadaan, baik kedua orang tua kamu, dan kamu belum bisa memaafkan dirimu sendiri yang gagal melakukan rekonsiliasi. Dari rasa belum bisa memaakan letupan-letupan kecewa itu mudah sekali makanya ada pada kamu !” jelasku.
“memaafkan ?” tanyanya heran.
“yah…memaafkan. Kamu pernah ga berpikir kalau kamu mudah marah, karena kamu sakit hati ? ya kecewa itu. Berarti kamu belum nerima keadaan itu dengan penuh kan ? ya bisa dibilang kamu sendiri seperti salah satu dari kedua orang tua kamu yang ga bisa memaafkan dengan penuh kan ? ya ga ?” jawabku..
“yah..mungkin…tapi….aku tak pernah buat salah apa-apa dalam relation mereka. Wajar donk kalau aku kecewa ? kenapa harus memaafkan ?” tanyanya dengan nada sok benar..
“sejak kapan memaafkan itu harus buat salah dulu ? minta maaf yang harus buat salah dulu. Ya kan ? aku rasa bapak direktur kan pinter tuh.” Jawabku dengan wajah sedikit mencela.
“iya yah…kenapa aku ga kepikiran yah ?” tanyanya dengan wajah terlihat bodoh dan menyesal.
“setiap orang memang akan membuat dirinya mencari posisi nyaman. Secara hak, memang itu hak kamu. Tapi kalau lihat motivasi kamu, kamu mau kan berkorban. Nah cara yang benarnya secara spirit adalah mulai tidak mentoleransi kata “wajar donk aku kecewa”. Itu memang wajar, tapi wajar kalau itu tetap ada kamu akan tetap kecewa.” Jawabku
“Kurasa kamu sebenarnya sangat cerdas untuk focus pada tujuan kamu. Mungkin solusi kecil dariku adalah mulailah berkata dalam dirimu bahwa tujuanmu itu apa. Ini bukan masalah wajar atau tidak. Ini bertujuan membuat mereka lebih bahagia seperti yang kamu bilang. Dan dimaafkan oleh putra tercintanya (baik tahu atau tidak) adalah kebahagiaan yang mungkin membuat paling tidak dirimu lebih nyaman berbuat baik pada mereka. Dan darisana kita lihat apa yang akan terjadi. Paling tidak pula positifnya kamu akan lebih murah senyum dan tidak mudah kesal” tambahku.
“yah, aku bisa menerima alasanmu. Memaafkan..yah…memaafkan…bukan memaklumi tapi memaafkan. Tidak ada yang harus dimaklumi dari sebuah kesalahan. Yang ada harus dimaafkan. Case close as a business problem.” Jawabnya menyimpulkan
“kamu memang cerdas. Tapi ingat. As a business perjalanan ini proses juga. Benar-benar seperti mengenal baru adalah kuncinya. Kalau masih ada memori buruk yang dominant kamu akan lambat bergerak. Seperti orang diet saja. Walau dia workout, kalau makannya seperti king kong, yah bukannya tidak mungkin kurus, tapi lambat kan ?” jawabku santai.
“yah..yah…memaafkan” jawabnya seakan kehabisan kata-kata.
“dan satu hal lagi. Ketika mencoba berinteraksi mungkin akan sulit karena sikap mereka kita asumsikan mereka tidak berubah, jadi bukan hanya dari sikap kita harus tercermin maaf tapi juga dari mindset dan kebaikan itu dari kamu bukan dari mereka. Jangan banyak berharap namun memberi harapan yah. Mengatakan bukan menunggu kata ‘MAAF’ yah ?” kataku yang seakan menggurui..
“ok Ibu Guru” katanya cengengesan.
“okeh..so ?? ready ??? aku tunggu kabar dari kamu loh…jangan buat aku merasa gagal yah ? kalau kamu sukses traktir aku yah….” Jawabku…
"one,two,three,four,five,six" Jason counted the people in the book that he was reading. "This family has six people.
ReplyDelete"That's a big family," said mother.
"one, two, three, four, five. That's another big family."
Dad was reading the newspaper, but he stopped and motioned to Jason to come sit on his lap.
'Dad," asked Jason, "why don't we have a big family? There are only three of us. Are we a real family?"
"Jason," said dad, "it doesn't matter how many people are in a family. It's the love that family has for each other that makes it a real family."