Terapi Syukur : Pulang



Stasiun Gambir, Jakarta,Medio 2009

'Sudah lama juga rupanya tanah itu tak kupijak' pikir seorang pemuda 30an tak lama dia duduk dikompartemen kereta.

Wajahnya kemerahan karena antrian panjang memasuki kereta membuatnya berkeringat. Wajahnya terlihat cukup termakan usia di usianya yang baru 30an itu. Pakaian yang sedikit lusuh karena berdesakan coba dirapihkannya usai duduk. Lalu dipasangkannya earphone yang tersambung dengan Ipodnya.

Gerbong yang ditempatinya sedikit sepi. Kapasitas sekitar 20 orang terisi hanya 4 orang. 'mungkin karena kereta malam' pikirnya. Hal itu membuat dia lebih banyak melempar pandang keluar jendela. terlihat sejenak jalan-jalan kota, atau terkadang rumah kumuh yang menempel di jalur kereta. Lemparan pandang yang lama hingga ia teringat masa-masa ia merantau ke kota.


Satu sore, di pendopo rumah, tigabelas tahun yang lalu...
"Tidak bisa ! kamu harus teruskan usaha ini !" ucap keras seorang bapak berperawakan sedikit bungkuk berusia lima puluhan.

"tapi aku sama sekali tidak mengerti dan menjiwai tenunan Pak. Aku benar-benar tidak menyukainya."

jawab anak laki-laki tertuanya, sambil duduk di kursi 'terdakwa' bapaknya.

"Lalu untuk apa aku sekolahkan kamu selama ini?? mana balasanmu? setelah lulus lalu kamu kabur begitu saja? ke kota? mau jadi apa kamu disana??? ngerti apa kamu???" tanya sang bapak dengan nada remeh pada anaknya.

"Aku bisa jadi apa saja ! aku tak ingin seperti anak-anak disini yang ujung-ujungnya hanya hidup antara rumah dan pasar! buat apa saya sekolah kalau begitu !' jawab sang anak gusar sambil berdiri."Maaf pak, saya lancang memilih pergi...." ucapan terakhirnya itu terdengar lebih lirih...

Lalu yang tersisa hanya ingatan bahwa pipinya merah bekas tamparan, dan ketika ia berangkat dengan tas seadanya karena bapaknya marah besar.

Kereta...2 jam setelah berangkat.....

"Hmhhh...seperti apa kota itu sekarang? bapak seperti apa ya? masihkah ia marah?" pikir pemuda itu. Sebentar ponselnya bergetar.ada e-mail masuk yang melaporkan soal beberapa hal yang ditinggalkannya di Jakarta. Lalu dia hanya mengambil template yang menjawab "i'm on leave now, for any corporate needed please call or mail to Dani -021.555xxxx"

kembali pemuda itu pada lamunannya. Dia coba menelaah,apakah ia yang salah, atau apa yang salah.sudahtiga belas tahun tak ada tegur sapa.Hanya sesekali surat menyurat basa-basi pada ibu dan adik-adiknya. "aku tahu aku terlalu memaksakan. "Tapi aku sekarang jauh lebih bersyukur dan bisa jadi orang lebih berguna. Lalu aku harus bagaimana nanti?" pikirnya dalam-dalam.

Stasiun Balapan, Jogjakarta, dini hari
Perjalanan panjang rupanya telah membuat pemuda ini terlelap. Ketika terbangun, dia dibangunkan oleh petugas kereta yang bilang sudah sampai di Jogja. Sedikit merapihkan pakaian dan menggendong ranselnya diapun bergegas keluar. Sesampainya diluar dia mencoba menghubungi nomor ponsel supir penjemputnya yang sudah disediakan. Usai tak lama menunggu iapun dijemput, dan ia diantar menuju ke hotel.

"Kenapa ke hotel pak?" tanya si supir. Lalu dia hanya menjawab "masih terlalu pagi pak, nanti siang saja saya diantar ke rumah", lalu supir itu menjawab "baik pak kalau begitu, bapak jangan lupa kalau malam nanti mesti ketemu Sultan untuk urusan kawasan industri itu. Saya diminta kantor ingatkan bapak." Lalu ia hanya mengangguk


Hotel, Jogjakarta, Jam 8.00 pagi
"kenapa orang macam aku harus takut bertemu keluargaku sendiri? apa ini yang namanya rasa bersalah?" pikir pemuda itu ketika duduk di restaurant hotel dengan secangkir teh hangat dan beberapa lembar roti dihadapannya. Lalu ponselnya bergetar, dan ketika diangkatnya...

"Mas...dimana sih? sudah sampe jogja toh??? atau jangan-jangan kamu batal lagi karena ada meeting?" suara adik perempuan terkecilnya nyerocos ditelinganya.

"Nggak...mas tadi ke hotel dulu, siapkan bahan buat ketemu sultan nanti.habis ini Mas langsung kerumah. yah?Oleh-olehmu dan mbakmu sudah ada di tas kok." jawabnya yang disambung dengan "ASik!!!! matur nuwun loh mas!!!"


Rumah, Jogjakarta, siang itu...
"Mas!!!!" teriak adik kecil perempuannya ketika dia keluar dari mobil, berlanjut dengan sambaran pelukannya dan adik keduanya.

Tak jauh darisana, ibunya berjalan perlahan lalu pemuda itu menghampirinya dan mencium tangannya. Lalu sang ibu mengecup kening pemuda itu, dan hanya bilang "Akhirnya kamu pulang nak...tuh bapakmu sudah nunggu di dalam"

Sampai di dalam Pemuda itu sempat kikuk karena tatanan perabot lumayan banyak berubah, hingga akhirnya ada suara dibelakangnya "Nak....."

Ntah mengapa kaki pemuda itu langsung bergerak cepat...menghampiri sumber suara tadi....ketika kian dekat...pemuda itu sujud dan mencium tangan sumber suara tadi..yah sang Bapak...

"Akhirnya bapak tahu dan yakin bahwa ada yang lebih berharga dari tenunan itu." Kata-kata itu begitu lancar keluar seakan sudah dipersiapkan lama. Lalu si pemuda menegadah menatap wajah bapaknya yang sudah terlihat jauh lebih renta. "Tanpa tahu bagaimana keluarga ini memulai usaha tenun, saya tidak akan sesukses ini juga pak" Lalu sang bapak mengangkat anaknya dan memeluknya.


Perjalanan ke Kraton, Malam itu...
"Tak ada yang sulit rupanya....tak ada sama sekali....kecuali menerima dan membiarkan waktu menjelaskannya" pikir pemuda itu.

"seperti halnya setiap project atau pekerjaan, kurasa hidup juga begitu. ada hal yang tak bisa kujawab sampai kulakukan dengan sebaik-baiknya..., paling tidak kini aku tahu bahwa bapak bisa meneteskan air mata bahagia karena sukses ini, walau dulu aku harus menahan tangis perih...tiga belas tahun lamanya bertanya-tanya...." makin membatin si pemuda, sampai akhirnya ia harus turun di pendopo untuk bersiap presentasi pekerjaannya pada Raja tanah jawa itu.



"Saat KITA terlahir ke dunia, semua orang tersenyum
dan hanya KITA yang menangis...
Jalanilah hidup dengan baik supaya saat kita meninggalkan dunia,
semua orang menangis
dan hanya KITA yang tersenyum..."
Annonymous (taken from Cherly Melinda FB note)

No comments:

Post a Comment

Siapapun jiwa yang berucap, baiknya aku mengenalmu, dan kamu akan lebih pahami aku adanya