Apa kamu juga demikian?
Sedikit tentang impian, Saya tak bisa memungkiri memang bagi sebagian orang bermimpi memang adalah jalan paling mujarab untuk terus bersemangat menggapai mimpi itu, bahkan (lagi-lagi kata orang), bermimpi itu sudah mewakili 20% dari realitas. Walau sejujurnya saya bingung, realitas dan ketidaknyataan kok bisa ya dipersentasekan? bukankah realitas dan ketidaknyataan itu mutlak? seperti 0 dan 1. ada atau tiada?
Tapi..lepas dari mimpi yang berkonotasi positif, kini saya menemukan satu yang kurang manis dari sebuah impian, dari sebuah harapan. Bahwa mimpi untuk memiliki, menggapai, dan berharap sesuatu terealisasi membuat banyak jiwa (termasuk saya dan mungkin juga kamu) menjadi sosok yang picik, dan katakanlah 'mau menang sendiri'.
Materi : hak atau sebuah pemberian?
Ketika sesorang bermimpi memiliki materi tertentu dia akan berjuang habis-habisan memperolehnya. dari seperak jadi sejuta, dari sejuta jadi semiliar, dan dari semiliar jadi tak terbatas. Proses itu terus berjalan dan dalam proses ini manusia cenderung terus melihat keatas. Terus ingin memperoleh angka demi angka yang bertumbuh.
Hal itu wajar bukan? namun wajarkah ketika kita tidak memperolehnya? angka-angka itu berhenti, angka-angka itu turun atau bahkan angka-angka itu tergerus? Jujur, pasti ada kesesakan yang tak lazim hadir disetiap relung jiwa kita ketika itu terjadi. Kalau dikalimatkan "apa yang sudah kuusahan sekian lama, hilang begitu saja"
Pertanyaannya. kenapa kita harus merasa kehilangan? karena kita merasa berhak kah? karena itu kita anggap sebagai sebuah pencapaiankah? atau sesungguhnya itu sekedar sebuah pemberian?
Kekasih : menjadi dirimu yang sesungguhnya
Bila membahas hak dan pemberian lebih sulit bila melihat dari konsep materi, mungkin lebih mudah membahas soal pasangan hidup kita. Setidaknya saya dan kamu mungkin lebih pernah menjalani hal ini. 'Memiliki kekasih'
Ketika jiwa menjalani sebuah hubungan, tak jarang jiwa berekspektasi akan memperoleh perlakuan 'a' dan 'b'. Namun jujur tak banyak jiwa berekspektasi 'bila 'a' atau 'b' tak terjadi maka hal positif apa yang bisa terjadi selanjutnya' karena kebanyakan bila tak terjadi maka yang ada hanya KECEWA.
karena apa? karena jiwa merasa ketika jiwa sudah menjadi kekasih, suami, atau istri, maka jiwa sudah menjadi 'pemilik resmi' dari sosok disampingnya. Mungkin kita langsung berkata pemikiran itu salah. tapi coba akui, setidaknya biarkan saya yang mengakui, kalau kecemburuan, amarah lebih banyak terjadi ketika pasangan kita justru apa adanya dihadapan kita, namun kita tak terima entitas 'milik kita' itu tak sesuai ekspektasi kita. begitu bukan?
sebenarnya bukan salahnya, namun ekspektasi atas memiliki itu yang salah. begitu bukan? maka saya sedikit menemukan kesalahan dari 'mimpi dan memiliki' dari celah ini. celah bernama 'ekspektasi'
Bedanya berhak dan layak ?
Saya hanya ingin menyimpulkan beberapa hal dari tulisan ini :
Pertama izinkan jiwa minta maaf atas ekspektasi-ekspektasi yang melukai hati siapapun yang pernah berbagi dengan saya. maafkan karena konsep memiliki sudah membuat saya begitu mudah melukai jiwa. Mungkin kamu siapapun kamu yang membaca ini bisa memulai melakukan hal yang sama
Kedua. saya rasa hidup itu seperti kendaraan angkut yang harus bisa introspeksi seperti uji laik jalan sebuah kendaraan. terus dan terus hingga suatu anugerah atas berhak mencintai dan dicintai. memiliki dan dimiliki atas apapun (materi, pasangan, dan kebahagiaan) bisa abadi.
"Karena sesuatu akan diberi pada orang yang layak. dan hanya orang yang layak yang terus berhak mempertahankan sebuah kemenangan atas apapun bentuk mimpi yang diraihnya.di milikinya.." - Christopher Reginald