Bedanya Miskin dan melarat? Memang beda?
Aku pernah bertemu dua orang di pinggiran jalan, orang baru yang aku kenal…mereka berasal dari kampung. Dari desa ntah apa namanya. Yah pokoknya dipedalaman yang sulit dijangkau bahkan oleh sentuhan matematika terapan di bangku pendidikan.
Tapi kini, setelah sekian tahun aku tak bertemu mereka, ada perbedaan mencolok. Bahkan sangat mencolok. Satu dari mereka tetap seperti yang dulu, bekerja sebagai kuli kasar dan serabutan. Makan nasi segunung, dengan garam sebisanya. Yang satunya lagi? Kini dia jadi pengumpul plastic bekas. Bahasa kerennya, dia jadi juragan pemulung. Dia kini memiliki rumah gedong di pinggiran kota . Dia kini kemana-kemana naik mobil.
Kenapa? Kenapa mereka bisa berbeda? Mereka sama-sama tidak punya matematika. Mereka lahir dari komunitas yang sama. Tapi kenapa kini peruntungan mereka berbeda?
Apakah takdir berkata beda? Yah..mungkin…tapi bagaimana meyakinkan logika kalau begitu?
Kutanya pada mereka berdua apa yang terjadi hingga mereka sampai pada hari ini. si berhasil mengatakan begini “saya boleh berasal dari daerah, saya juga boleh saja terlahir miskin, tapi bukan untuk menjadi lebih miskin lagi bukan?” Lalu ketika aku bertanya pada yang satunya, begini jawabnya “saya itu terlahir miskin, sudah bertahan hidup saja bagus. Saya tidak lebih melarat itu sudah anugerah”
Keduanya sama-sama bersyukur. Tapi cara mereka bersyukur beda. Miskin itu realitanya. Namun melarat itu hasil dari sebuah perjalanan rupanya, dan semua harus dibuktikan. Semua harus dipacu bersama waktu.
Kalah itu mutlak, menang itu yang relative
Setiap orang kurasa pernah berada ‘dibawah’. Nah berarti semua tahu bukan bagaimana rasanya. Salah itu pasti kan ? Pasti dikucilkan, pasti dimarahi, pasti..dan pasti… SALAH.
Bagaimana dengan kemenangan kalau begitu? Apa itu juara sejati?
Diatas seorang juara regional ada juara dunia. Seorang pemain terbaik ada masanya. Ada masanya dia akan jadi pemain biasa, karena usia, karena bermasalah dengan cidera di olah raga misalnya, atau kehilangan motivasinya.
Sehingga menghidupi sesuatu yang kalah itu harusnya biasa bukan? Kenapa aku (mungkin juga dirimu) begitu tolol untuk berlama-lama jadi pecundang? Bukankah seseorang bisa dikenang karena jadi pemenang? Atau malah jadi pecundang yang sejati?
Berhenti mencari alasan !
Ini mungkin yang paling rumit. Karena kita TERBIASA hidup seperti apa..
Seorang broken home kid selalu mengatakan dirinya tidak bisa optimal karena luka hatinya karena kekurangan kasih sayangnya. Begitu bukan?
Seorang suami menjadi begitu kasar karena dia menganggap istrinya selingkuh. Begitu bukan?
Seorang istri menjadi selingkuh karena dia menganggap suaminya kasar. Begitu bukan????
Atau bukan???
Semua berduduk perkara dan mencari basis alasan. Dan alasan itu yang selalu dipakai. Padahal apa begitu hidup ini? alasan hidup ini bukankah hanya pembenaran yang licik atas nama realita? Yang ingin mencari posisi nyaman yang berkedok “kebenaran?”? namun kalau begitu..mana solusinya??? Mana??? Apa solusi harus datang dari mereka yang berdosa? Atau harusnya dari kamu atau saya yang ‘katanya’ lebih baik dari mereka???
Jangan sampai tenggelam, walau selalu masih ada kesempatan
Yah..dunia terus berjalan rupanya…terus danterus…
Kalah akan terus kalah
Menang bisa menjadi kalah…
Mungkin kita harus berlomba..adu cepat dengan kenyataan, apakah bisa kita mengubahnya…ketika kita yang bisa berubah..atau mengubahnya…itukah yang disebut pembuktian? Yang membuat rasa syukur serupa bungkam datang?
Nggak semuanya harus dibuktiin, ga semuanya harus dipikirin dengan logika.. Jesus will never leave you,more love to Thee
ReplyDelete