Terapi Syukur : Hikmah Pelangi


“Siapakah seperti orang berhikmat? Dan siapakah yang mengetahui keterangan setiap perkara? Hikmat manusia menjadikan wajahnya bercahaya dan berubahlah kekerasan wajahnya” – Pengkhotbah 8:1

Di teluk Jakarta, di suatu sore yang kelabu…


Sebuah keluarga yang tidak banyak jumlahnya, berjalan pelan menuju ke ujung dermaga. Langit seakan kian pekat dengan setumpuk gulungan awan yang berwarna hitam geram ingin menangis. Oh ya sebelum aku lupa, aku adalah bagian dari keluarga ini. Aku mencoba berbagi cerita tentang masa hidup yang pernah kulewati, ketika seorang ibu terlihat sudah lelah terisak, hingga ‘bungkam’ sudah jadi image barunya beberapa jam belakangan ini. Di tangannya di genggam erat sebuah kendi, atau mungkin lebih tepat guci kecil, karena terbuat dari keramik. Isinya abu, abu jasad putri tercintanya, sepupuku tersayang yang belum lama ‘pergi’.


Saudari kecilku itu pergi karena katanya dia kena penyakit yang belum ada penyembuhnya. Masalah dengan sel darah intinya, aku tak paham selebihnya. Yang kutahu, ia makin lemah ketika terakhir aku menjenguknya. Hingga akhirnya kami sampai di sini, di semenanjung terakhir kebersamaan raga kami dengannya…dengan ‘abu’nya..


Mesin kapal menderu ketika ia kembali dinyalakan. Satu persatu keluarga itu naik ke kapal. Sedikit lamban, karena rupanya debur dan gelombang mulai tak bersahabat di senja tanpa banyak cahaya di udara itu. Kapalpun bergerak, walau lamban, namun terus menuju kedepan. Kulihat keangkasa…Awan diangkasa terlihat menakutkan. Namun n’tah mengapa, tumpukan awan itu semacam digulung mundur kearah kapal kian menuju ke tengah lautan. Gulungan awan gelap berganti dengan semilir senja yang menguning syahdu tanpa terik yang berarti.


Akhirnya kami berhenti. Kami hanya melihat Jakarta samar-samar, karena gempita lampu malam mulai siap menyala. Dengan doa khusuk keluarga, ditemani derai air mata yang mulai tak tertahan. Sang ibu membuka pintu kebersamaan terakhir dengan putrinya. Matanya yang berkaca seakan berkata. “Kurelakan kamu putriku” walau airmata kepedihan tampak jelas ada di pipinya. Lalu abu itu mengalir melarung kemana Sang Pencipta meniupkan angin membawa arus keliling bumi. Semua di tutup dengan ucap doa untuk adinda sebelum akhirnya deru mesin mengganti suara untuk menuju kembali ke tepi di sana.

Sunyi menyelimuti semua. Namun lagi-lagi langit seakan ingin berkata. Senja kian menguning. Di sisi kiri langit kian cerah dengan kuningnya. Awan gelap seakan sembunyi.. Seperti gambar adik kecilku, langit seakan hanya diserpihi awan putih. Lalu, Tuhan seakan melukiskan pesan tak terucapkan. Searah perjalanan ke daratan, Ia melukiskan bukan satu namun dua keindahan. Kasat mata seperti dari atas lautan, terbentuk dua lengkung utuh karyaNya, karya sejuta warna bernama : PELANGI, dua susun sempurna pelangi tepatnya. Hingga decak kagum dan kebahagiaan seakan semilir menyelimuti keluarga itu.

“Mungkin itu jalannya kepadaNya” kata seorang pamannya, dan wajah sang ibu seakan meng’amin’ninya. “Mungkin malaikat turun untuk menjemputnya” kata yang lain. Dan semua kata itu terus mengalir hingga kaki memijak daratan. Lalu kami menuju kendaraan, dan ketika semua siap berangkat pulang, tanpa sadar awan hitam sudah kembali pulang, dan turunlah hujan.

Pelangi itu begitu indah sore itu. Tapi coba kamu lihat darimana ia ada. Pelangi biasanya datang ketika usai hujan yang dingin. Dingin yang terlalu cepat berganti oleh kilau surya yg terik, membias warna di sisa air mata alam si hujan.

Apakah dia,datang dengan menyenangkan bila demikian? tidak selalu rupanya..dia datang dengan kucuran air mata alam...silih berganti cahaya, dan kadang terik yang tak menyenangkan. Namun kenapa timbul kekaguman atasnya? Mungkin kali itu pelangi membawa pesanNya kurasa. Si pelangi datang malah tepat sebelum hujan bukan setelahnya. Datang pada duka mendalam kehilangan dia yang begitu berarti untuk keluarganya.

Bila boleh aku menganalogikan, bahwa pelangi itu adalah rasa syukur yang sesungguhnya, maka ia datang saat aku, kamu, atau bahkan semuanya, tenggelam dalam pada jiwa yang kedinginan karena kehilangan. Lalu terbakar terik rasa sepi sendiri, dan luka lainnya atas kepergian putri tercinta. Semua itu tak menyenangkan memang. Aku sendiri kadang masih merindukan kebersamaan bersama saudari kecilku itu. Namun coba lihat. Kenapa ada keindahan yang begitu agung disekitaran dinginnya hujan, dan silaunya surya ?

Rupanya, Dinginnya hati serupa ketidakrelaan kadang membuat kita buta. Kelamnya awan hati tak membuat kita mudah menengadah ke Atas. Hingga kita merasa, cahaya yang datang dari angkasa usai hujan air mata adalah derita. Namun kisah ini membawakan satu hikmah yang mungkin sederhana. Bahwa setiap kita harusnya mampu bersyukur laksana pelangi. Karena keindahan hujan dan terik cahaya berarti bila aku, kamu dan kita semua mampu melukis pelangi hati dan rasa kita. Maka sekitar kita akan mengaggumi cipta Tuhan dalam laku syukur kita seperti halnya aku dan kamu mengagumi pelangi sore itu juga. Dan karena hikmah pelangi itu, semua kini dapat berjalan menuju masa depannya dengan bersyukur. Atas apa semua yang ada.

Karena hujan akan tetap turun ke bumi ini, dan mungkin akan bisa membawa derita membanjiri ladang jiwa, namun tak tertutup kemungkinan akan menyirami bunga rampai kehidupan yang mengagumkan.

Sebab cahaya terik mungkin membakar kering semua harapan hingga tak bersisa, atau dia akan membuat apa yang kamu lihat jadi kuning tanning mengaggumkan.

Jadi bila kita mampu berpayung dengan doa dan syukur saat hujan. Atau kita berlumurkan krim bijaksana saat terik cahaya hidup kita. Maka mungkin kita akan mencicipi pelangi dalam jiwa.Tidak kedeinginan, dan tidak terbakar! Maka, bukan tak mungkin kita melahirkan kebahagiaan yang unik serupa syukur dalam diri kita. Sekarang, dan selamanya. Di sini, atau dimana kita dan adik kecilku itu kini berada…

Dedicated to Irene Rani Clarinda

1 comment:

  1. hmmm....setuju...
    stiap hari naik bis dan angkot,dan kereta membuatku stiap hari melihat kejadian yang berbeda2..
    banyak pengamen yang bisa bersyukur dengan mengucapkan"alhamdullilah"berkali2 hanya karna mendapat uang 2000 rupiah..
    ada juga kenek bus yang dengan lapang dada membiarkan seorang anak ga bayar,padahal 1000 sangat berharga untuk keseharian mreka..
    ada juga pengemis yang mendoakan kita sampai menangis ketika di tangannya kita selipkan 500 rupiah...
    tapi juga bisa melihat,begitu masuk ke lingkungan kampus,ada yang merasa tetap kurang walaupun sebulan uang sakunya lebih dari setahun pengamen,pengemis,atau kenek bis itu melakukan pekerjaannya sehari demi sehari..
    ada pemulung yang bisa sangat sumringah karna menemukan sebungkus nasi sisa di tong sampah kampus..
    atau ada juga yang sangat tidak percaya diri padahal diberi keindahan fisik diatas rata-rata, dengan suka mengambil milik orang lain untuk membeli barang branded yang membuat dia merasa menjadi seorang yang"cantik" betulan..

    memang benar kak,bahagia atau tidaknya kita,
    sejauh mana kita menyikapi persoalan yang ada di hidup kita,
    dan sejauh mana kita bisa bersyukur...

    ReplyDelete

Siapapun jiwa yang berucap, baiknya aku mengenalmu, dan kamu akan lebih pahami aku adanya