TIGA
Uluwatu : Kesempurnaan yang sederhana atau kesederhanaan yang sempurna ?
Hari kedua di Bali . Aku bangun cukup siang karena kemarin aku baru kembali pukul satu dini hari. Hari ini aku berencana menghadiri pernikahan sahabat lamaku di Uluwatu. Belakangan ini uluwatu memang jadi tempat melepas lajang idaman orang-orang. Ntah kenapa. Aku jarang kesana. Kalaupun aku kesana, biasanya tujuanku adalah pura, tak lebih…
Usai berpakaian, aku langsung bergegas karena waktu menunjukan pukul 09.00 WITA, sedangkan acara dimulai 09.30WITA. Untungnya kau bisa mendapat taksi dengan mudah dan jalanan lengang (karena bukan libur mungkin) dan aku sampai 5 menit sebelum acara.
Luar biasa ! ketika aku sampai disana, aku sempat merinding melihat sisi lain uluwatu. Sama masih berupa tebing2 menatap pantai yang menantang. Namun sisi ini mengundang naluri siapapun untuk mengagguminya. Tata rapih bangunan modern dengan kaca-kaca yang dipadu rangkaian bunga-bunga putih menemani menakjubkannya alam uluwatu. Pasangan berbahagia berpakaian modern putih-putih sederhana tak hentinya membagi senyuman dan kebahagiaan. Tamu-tamu rapih dengan makanan dan minuman di tangan mereka. Yang ada hanya gelak tawa dan senyuman.
“Apa kabar ? selamat ya !” Ucapku pada Aria sahabatku itu..lelaki yang mungkin 6 tahun lebih tua dariku. “terima kasih, boss, datang jauh-jauh dari Jakarta ” balasnya, dan ditambah istrinya yang berkata “wah, doa dan niatnya dalam nih, kami pasti sangat bahagia mas datang, silahkan loh” dan akupun berbaur dengan beberapa teman yang familiar. Teman-teman lama, tak pernah habis cerita bila bertemu mereka..
Bila diingat, Aria adalah ‘pejuang hebat’ di kampus dulu. Dia bukan orang kecukupan. Walau tinggal di asrama, dia harus memberikan lebih dari 1 les pelajar pada lebih dari 1 anak bimbingnya setiap hari di luar kuliahnya yang selalu full sks. Perantauan anak petani bali yang mengaggumkan. Lebih mengaggumkan lagi, kalau dipikir-pikir dia adalah sumber gelak tawa anak-anak sepergaulan kami masa itu. Dan kini…7 tahun usai wisuda balairung yang terlalu penuh seperti biasa, yang ada di hadapanku adalah Bapak Aria, Direktur kenamaan sebuah institusi keuangan asing, dengan istri cantik yang dipacarinya dari Asrama dulu di Depok.
‘Hebat !’ pikirku. Dia sudah mencapai apa yang diimpikannya. Sukses mengangkat harkat keluarganya secara ekonomi. Menikahi orang yang dicintainya. Apa lagi yang dicarinya ? Aku ingat dulu ketika aku bertanya padanya ‘bagaimana dia memanage waktu kuliah padat dengan les-les yang diberikannya’, dan jawabannya hanya “aku tahu di satu hari nanti aku akan mencapai mimpi-mimpiku. Ini hanya caranya”
Kini orang yang bermimpi itu telah memperoleh semuanya. Orang yang tak memperdulikan rasanya sesaat telah meraup citanya. Dan semua itu sudah sampai pada ujungnya. Yang kupertanyakan satu hal. Apakah kesempurnaan itu sederhana ? atau Kesederhanaan itu adalah kesempurnaan ? namun semua memang harus dijalani dengan gigih, syukur, dan apa adanya rupanya. Paling tidak itu pesan tentang keindahan pernikahan sahabatku dan perjalanan hidupnya.
“Kini orang yang bermimpi itu telah memperoleh semuanya. Orang yang tak memperdulikan rasanya sesaat telah meraup citanya. Apakah kesempurnaan itu sederhana ? atau Kesederhanaan itu adalah kesempurnaan ?” – Christopher Reginald
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- EMPAT
Dreamland : Keindahan ≠ Mimpi ?
Usai menghadiri pernikahan temanku dan menghabiskan hampir sebagian isi memory kameraku dengan foto-foto, tanpa melupakan menghabiskan makanan yang terhidang tentunya. Aku memutuskan untuk tidak langsung kembali ke kuta, aku ingin menuju Dreamland yang tersohor dengan pantai ekslusif itu. Karena waktu juga sudah menunjukan pukul 16.00 dan sebentar lagi sunset. Tentunya obyek foto akan banyak disana. Lagi beberapa teman juga akan kesana.
Jadilah aku ikut salah satu sahabatku dengan kijangnya kesana. Perjalananpun hanya butuh waktu 10 menit. Semua rombongan kami berjumlah 8 orang. 5 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Sahabat-sahabat lama yang ingin bersuka ria bersama pikirku.
Sesampainya disana, kami berusaha mencari sewaan kursi pantai untuk duduk-duduk dan menjadi base kami, namun hampir semua penuh..jadilah aku teringat mencari penyewa tikar yang waktu itu. Berharap mendapatkan beberapa tikar dengan lebih mudah. Setelah bertanya-tanya, akhirnya aku diantar kesebuah warung di ujung jauh Dreamland.
Disana aku bertemu langsung Ibu itu. “Eh adik, masuk-masuk, disini ini tempat ibu.Jadi mau pinjam tikarnya ?” Jawabku menekankan, “sewa bu, jangan pinjam...” sambil ikut masuk kedalam…. Didalam, kulihat warung kecil itu adalah rumah mereka. Mereka tidur berhimpitan kurasa. .Ketika dia memberikan setumpuk tikar untuk dipilih, aku berkata “tiga buah saja bu, jadi berapa ?” dan dia menjawab “terserah saja, kan saya malah janji memberi gratis. Paling ini juga buat anak-anak jalan-jalan” Lalu aku bertanya, “Memang kenapa bu ?” dan ia menjawab “Anak-anak lagi ingin keliling namun, susah karena yang kecil masih sakit ongkos angkutannya jadi mahal”. Sambil memberikan dua lembar dua puluh ribuan aku permisi tanpa bertanya lagi, dan hanya mengucapkan terima kasih karena senja hampir tiba.
Sekembalinya, seusai menggelar tikar, aku sudah berkumpul dengan teman-temanku dan menghabiskan waktu dengan kamera dan senja hingga Dreamland yang mengagumkan itu menggelap. Banyak photo bagus dan gelak tawa yang kuhabiskan di sini. Sungguh menyenangkan. Alam yang indah, bahkan bisa kusebutkan mengaggumkan. Apalagi bersama teman-teman. Sempurna. Liburan yang menyenangkan…pikirku
Usai langit benar-benar hampir kehabisan terang kami akhirnya memutuskan untuk pulang, kami sama-sama berjalan menuju warung Ibu Marti untuk mengembalikan tikar. Sesampai di sana , di depan warung pria sebaya bu Marti sedang mencoba memapah sambil mengajari seorang anak berjalan di hari yang hampir gelap di bawah lampu petromag. Dan aku menyapanya “Pak, ini mau kembalikan tikar ke Ibu.” Dan Ia menjawab “Oh iya taruh saja di bawah dik..Ibu…ini ada yang kembalikan tikar” Teriaknya kedalam.
Lalu Salah satu temanku bertanya pada bapak itu “adiknya sakit apa pak ?” karena sepengelihatanku anak itu berkaki lemas sehingga harus memakai tongkat sebelah. Jawab bapak itu “pengapuran tulang kata dokter, jadi harus dibelajari berjalan sendiri. Kalau terapi mahal…”, lalu adik kecil itu berkata pada bapaknya "tapi kalau sudah bisa jalan kita jalan-jalan ya pak. Ke kuta, ke Denpasar, lihat kota" lalu bapaknya menjawab pelan "Insya Allah ya nak, kalau rejeki kita sedang cukup, pasti kita pergi, tidak perlu tunggu kamu bisa jalan benar"
Ntah darimana datangnya ide gila teman-temanku. Tiba-tiba salah satu temanku, Doni menarikku yang sedang membantu Bu Marti merapikan tikar sewaan tadi, dan dia berkata "Bagaimana kalau kita ajak mereka jalan malam ini ? Mobil kan bisa diatur, aku ada mobil di hotel yang bisa jemput kita untuk tambah mobil ? Vera terharu tuh melihat keluarga ini" Ucap Doni sambil menunjuk Vera, dan Aku tersenyum, dan bilang "Let me try"
Lalu aku berbicara dengan Bu marti dan Suaminya (yang rupanya bernama Pak Wiasa), dan merekapun setuju. Tujuan Kami, Jimbaran lewat Denpasar.
Kami sudah diperjalanan sekarang, ketiga anak Ibu Marti terutama si kecil, selalu memandangi luar dengan kagum. Tak habis-habisnya dia bertanya "Bapak, Ibu, itu bangunan apa ? itu benda apa?" Aku serasa menyesak dalam hati. Keindahan yang mereka lihat di halaman mereka rupanya tak semenarik apa yang mereka lihat malam ini. Isolasi daerah mereka telah membuat mereka mengaggumi keindahan lain. Seperti orang Jakarta mengagumi Bali mungkin.
Di Denpasar, Kami berdelapan sepakat memberikan anak-anak itu mainan kecil yang berbaterai sehingga bisa dipakai sebagai remote control. Betapa senangnya anak-anak itu. Bu Marti sempat menangis sambil berterimakasih pada kami samapi-sampai memeluk Vera yang memang terlihat paling berniat.
Dan malampun kami habiskan dengan makan di jimbaran. Di salah satu restoran biasa. Kami semua makan lahap, namun aku kagum ketika tiba-tiba sebelum makan si Ibu menegur anak sulungnya untuk berdoa. Memimpin Doa keluarga. Kami yang tadinya siap menyantap berhenti. dan ikut menunduk doa sambil malu-malu.
Usai makan, kami semua bersiap ke mobil, ketika si kecil berkata padaku dan teman-teman dengan keras "Kakak-kakak, terima kasih ya...robotnya bagus...aku suka...makanannya enbak seperti yang di bawa bule-bule dari luar negeri...dan makasih atas semangatnya ya...aku janji kalau kakak-kakak datang kerumah lagi aku sudah bisa berjalan. Janji.!!! Kuat seperti Robot ini" sambil menunjuk robot digenggamannya.
'Ya Tuhan...' pikirku, 'Anak ini punya semangat yang luar biasa. Dia tetap pemimpi kecil yang mengagumi kota lebih dari keindahan di depan matanya di Dreamland, namun dia punya mimpi serupa janji yang indah. Untuk berdiri ! walau kurasa itu sulit, namun tak sedikitpun matanya memancarkan keraguan (walau mungkin dia tak tahu apa yang dihadapinya), namun itulah semuanya..Kesempurnaan dari ketidaksempurnaan yang ada'
Oh ya...akhirnya kami mengantar mereka pulang, dan Aku diantar pulang oleh Doni dengan Tawaran tikar gratis seumur hidup.
Semua sudah kujalani dua hari...Dua hari yang mengaggumkan..sebelum esok pagi aku terbang ke Jakarta...
Dengan kesimpulan tak berujung yang berarti....Bahwa yang sempurna itu menghargai ketidak sempurnaan, dan menghidupinya dengan sempurna !
"Anak ini punya semangat yang luar biasa. Dia tetap pemimpi kecil yang mengagumi kota lebih dari keindahan di depan matanya di Dreamland, namun dia punya mimpi serupa janji yang indah. Untuk berdiri ! walau kurasa itu sulit, namun tak sedikitpun matanya memancarkan keraguan (walau mungkin dia tak tahu apa yang dihadapinya), namun itulah semuanya..Kesempurnaan dari ketidaksempurnaan yang ada" - Christopher Reginald