Terapi Syukur : Ketidaksempurnaan yang sempurna (1)

Dalam sebuah perjalanan ke pulau dewata.. Bali …

Semua berawal ketika pesawatku baru saja mendarat dengan selamat di Ngurah Rai. Perjalanan yang akan kumulai sekerang untuk liburan singkat tiga hari dua malam ini. Cuaca hari itu cukup sejuk untuk ukuran Bali . Matahari malu-malu menyambangkan teriknya dibalik beberapa pohon kelapa yang mendayu-dayu di lapangan parkir Bandara Internasional itu. Tak banyak yang kulakukan, ambil bagasi…….keluar….dan mencari kendaraan untuk menuju penginapan yang sudah kupesan dari Jakarta . Sesampainya disana, aku beristirahat sejenak, merebahkan badan, hingga tak sadar aku terlelap. Ketika terbangun, waktu sudah menunjukan jam 17.00 WITA. Waktu yang tepat untuk berhambur keluar menikmati senja di Kuta. Oh ya…jarak hotelku dengan pantai hanya 5 menit jalan kaki, jadi aku bergegas kesana, hanya berganti pakaian, dan membawa kameraku.

PERTAMA
Kuta : Yang Kuasa memberikan secukupnya

Tak banyak orang hari ini rupanya. Hanya beberapa gerombol orang yang biasa masih ingin berenang dan berselancar di Kuta. Aku juga tak begitu tertarik untuk masik ke air. Incaranku hanya matahari senja yang memerah nanti sebelum ia pergi. Incaranku bersama kamera kesayanganku.
Aku duduk di pasir yang kosong sedikit ditengah, ketika seorang ibu tua menawarkanku menyewa tikar, “Tikarnya dik, sepuluh ribu, sampai sunset habis”…’Rupanya dia sudah hafal bahwa orang yang hanya memegang kamera tanpa berpakaian renang, hanya akan ada disini sampai matahari tenggelam’ pikirku. “Boleh, bu, satu tikar saja.” Jawabku sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Lalu aku duduk diatas tikar yang disewakan ibu itu padaku.

Senja sudah makin memerah, akupun tenggelam dalam dalam lensa dan kameraku, hingga cahaya mentari mulai ditukar dengan gemerlap lampu jalanan dipinggir jalan dibelakangku. ‘Sudah cukup untuk sore ini’ pikirku. Aku merapikan kameraku, dan membersihkan tasku yang sedikit kena pasir. Lalu kulipat tikar yang kududuki. Usai kulipat, aku mencari ibu penyewa tikar ini.Ah, rupanya dia ada di bawah sebuah pohon, sedang merapikan setumpukan tikar, bersama beberapa penyewa tikar lainnya.

Aku menghampirinya, lalu mengembalikan tikar itu padanya. “terima kasih bu”, “sama-sama dik” jawabnya cepat, lalu dia terlihat tergesa berjalan menyusuri pantai karena hari terlihat kian gelap.

Aku berjalan menyusuri pantai, kearah penginapanku. Lalu aku bertemu ibu penyewa tikar itu lagi, padahal langit sudah benar-benar merona hitam di udara. “Belum pulang bu ?” tanyaku sekedar basa-basi. “Belum dik, tikarnya masih kurang dua. Tadi ada di sebelah sini, mana orangnya belum bayar lagi.” Jawabnya, dengan wajah yang sebenarnya terlihat sangat lelah. Ntah, ada apa denganku hari itu, “mau saya bantu angkat atau jaga tikarnya dulu bu ? Jadi ibu bisa cari dengan lebih ringan dan cepat, kebetulan saya tidak buru-buru

Wajahnya sempat sedikit ragu, namun akhirnya dia mengangguk lalu menaruh tumpukan tikar yang kurasa jumlahnya lebih dari 15 buah itu di pasir, lalu dia berkata “titip ya dik” sambil bergegas kembali mengitari pantai kuta yang besar itu.

Aku hanya duduk diam diatas tumpukan tikar sambil menghadap laut yang berdebur tanpa cahaya di depanku. Seperti biasa, kuta diwaktu malam itu sunyi, apa lagi hari ini bukan hari libur. Kebetulan hari ini juga hari selasa…..Aku menunggu cukup lama, tadi terakhir kulihat jam tanganku waktu masih pukul 18.45, sedangkan waktu sekarang sudah pukul 19.30. Jujur aku mulai keroncongan, namun ntah kenapa lagi-lagi aku berpikir, mungkin Ibu itu bisa jauh lebih keroncongan setiap harinya kalau dua tikarnya itu hilang. Bukan hanya hari ini !

Masih diatas tikar, 19.48 WITA. Dari kegelapan dari arah jauh, ibu itu datang. Dia kulihat membawa selipat tikar. Lalu ketika dia mulai dekat, aku bertanya “ada bu tikarnya ?”. lalu ia menjawab dengan riang. “Cuma satu sih dik, tapi tidak apa-apa, yang penting hari ini ada rejeki dari sewaan, dari adik kan juga ada sepuluh ribu lagi, tanpa ditawar lagi.” Senyumnya merekah, lalu belum aku membalas dia sudah bicara, “makasih ya dik, sudah dijagain tikarnya, sebagai hadiah, besok kalau kesini lagi pagi atau sore, cari ibu saja, ibu kasih pinjam tikar, gratis, ndak usah bayar seharian”. Aku jujur tercekat saat itu, hanya mulut bawelku yang membalas kata-katanya “wah, terima kasih sekali bu, tapi jangan dong bu, kan tikar ibu sudah kurang satu, kalau saya dikasih pinjam gratisan, kurang satu lagi dong besok ? mending saya jadi pelanggan setia saja kalau besok atau lusa saya foto-foto lagi di kuta, ya ga bu ?” Sambil merapikan tikarnya dia menjawab “Saya sudah titip tikar ini ke adik lebih sejam, tidak hilang satupun dik, itu berarti adik sudah setia tanpa pamrih. Rejeki mah ga kemana dik, saya punya 20 sekarang tinggal 19. Saya titip 19 tetap 19, itu berarti adik sudah kasih kesempatan saya dapat rejeki dari 19 tikar saya, kalau Cuma satu saya kasih pinjam, dan tidak mungkin hilang karena dititip 19 saja adik setia, kenapa saya harus ragu ? toh belum tentu hari itu lagi ramai kan ? atau adik mungkin ke Dreamland saya juga ada sewaan disana, gantian sama anak saya

Aku hanya tertegun, jujur aku terdiam dengar jawabannya. “Iya sih bu….” Hanya itu yang keluar dari mulutku, karena dia sudah melanjutkan bicaranya “Saya permisi dulu dik, anak-anak menunggu di rumah, main-main ke rumah saya dik kalau ke Dreamland. Rumah saya dekat dari sana . Yah…gubuk sederhana, namanya juga hanya penyewa tikar…” “oh ya bu ? mungkin dua tiga hari lagi saya mau kesana. Nanti saya cari ibu deh” jawabku seenaknya. Lalu sambil bergegas dia berkata “cari saja Ibu marti, atau Tanya rumah ibu marti kalau saya tidak ada. Nanti pasti ada yang bantu dik…” Lalu ia bergegas berjalan, dan akupun menuju jalan raya kuta untuk segera mencari makan malam. Lapar perutku sudah mulai mengganggu, namun sebenarnya hatiku sudah kenyang hari ini. Pelajaran berharga hari ini kudapat, bukan dari balik lensa, namun dari balik pemikiran seorang penyewa tikar gulungan di pantai Kuta.

“Tidak…bukan karena keriangan aku setia pada Tuhan, Aku taat padaNya dalam sebuah bentuk rasa, sebentuk keriangan atas rejeki dan peluh yang secukupnya…apa adanya…” – Christopher Reginald

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

KEDUA
Legian : Keteguhan mengubur tangisan

Usai mengisi perutku hingga kenyang, aku kembali ke penginapan. Hampir 1 jam aku merendam badanku di bak mandi, merenungi betapa aku ini bukan apa dibanding ibu penyewa tikar itu. Terutama dalam hal syukur. Aku adalah jiwa yang diberi kelengkapan raga bahkan harta namun tidak punya perbendaharaan makna sebesar dia. Makna yang tak dapat kuhabiskan dalam pikiran dalam satu jam itu.
Usai berendam, dan berpakaian, aku mencoba tidur. Walau waktu masih menunjukan pukul 22.00 WITA. Itu berarti, masih jam Sembilan malam di Jakarta , dan orang seperti aku tidak akan mudah tertidur dengan waktu ‘sepagi’ itu.

Ah…akhirnya kuputuskan untuk mencari udara segar di luar. Namun jalanan kuta masih penuh sesak dengan orang lalu lalang. Hingga akhirnya aku putuskan untuk melawan arah, yah…”Legian!” pikirku merupakan tempat yang kujadikan pilihan menghabiskan malam hingga kantuk datang.

10 menit berjalan, akhirnya aku sampai di Legian. Dari jauh aku sudah mendengar hangar bingar klub-klub di sepanjang Legian, namun kameraku seakan tidak mengajakku kesana. Dan memang aku tak kesana, aku lebih ingin ke monument Bom bali di daerah ini. Dan dalam beberapa menit monument itu ada didepanku. Terang benderang…Putih…dan ditengahnya batu nisan besar tertulis nama-nama korban. Walau aku sudah lebih dari sekali kesini, namun rasa ‘yang sesak’ itu tetap ada. Iba, menyedihkan, kesal, semua bercampur aduk. Hmhhh…

Aku duduk di pinggir ujung monument. Kusiapkan kameraku, dan tripod untuk memfoto dengan harapan bisa mengambil gambar dengan kecepatan lambat, agar aku memperoleh gambaran orang lalu lalang, dan bentuk air mancur di tengah monument dengan cara berbeda.

Asik memfoto, tiba-tiba ada sosok yang mengusik focus kameraku. Seseorang dengan lengan baju sebelah tanpa tangan, menaruh sekarangan bunga mawar putih di kaki monument dengan tangan satunya yang utuh. Sosok perempuan yang kelihatannya warga Negara asing karena perawakannya yang besar dengan rambut pirang menggambarkan itu. Ketika ia menaruh sebuah surat , refleks aku memotretnya…’Sebuah sentuhan kasih dari orang yang mungkin banyak merasakan perih’ pikirku, kalau aku harus memberi photo ini judul nantinya. Lalu ia berdiri…Berdoa kelihatannya, karena matanya memejam…3-5 menit dia berdoa, dan ketika matanya terbuka, airmatanya mengalir setetes di pipinya. Sambil ia mengecup tangannya dan menempelkan jarinya kesebuah tulisan nama di nisan.

Ntah apa lagi yang membuatku nekat, dan ikut campur urusan orang. Kuhampiri perempuan itu dan “excuse me, can I talk to you in a moment ?” Lalu dia menoleh padaku dan berkata “Yes, what can I do for you ?” .Ntah darimana datangnya membuat aku bertanya “You look familiar with this monument, and you look so deep when you’re pray, do you have any memory here ? Sorry for asking this question, if this question disturb you. You look different from others, for me as photographer at least.” Dia, tersenyum, dan menjawab tanpa sedikit kesedihan sedikitpun di tatapannya. “I was here when it’s happen, but I’m alive. My husband hug me in that moment, so his body is crash by the power of explosion but also save me. Only my left hand must be amputate because doctor say my left hand bone is cant be helped” Aku tak bisa bicara..jujur aku terdiam…terkaca tepatnya… hanya ada beberapa patah kata…”I….I’m sorry, to ask you this….que
That’s fine, I’m proud to tell everyone this story. Maybe for some people it’s a hard and sad story, but not for me anymore. I believe, that last hug is specially for me from him and Him with capital ‘H’. Every one came here for empathy, but now I came here for celebrate my Anniversary with him today.” Jawabnya tiba-tiba memotong pembicaraanku. Jawaban yang membuat aku seakan meleleh dibuatnya.

Namun, rasa ingin tahuku lebih besar rupanya. Aku memutuskan untuk bertanya padanya lagi “So, you do this every year ? What kind of mind that make you don’t sad ?” Senyumnya lagi-lagi melebar, dan dia menjawab “I’ll try always to do that, but its not easy, I’m from Finland , its so expensive to came here, even once in a year.” Aku memotong, “Oh ya, I’m Reggy, I’m from Jakarta , Indonesia , nice to meet you” Dan dia menjawab “Roweina, nice to meet you to…So I wasn’t answer your last question right ?” dan aku hanya mengangguk. Sambil merapihkan tas yang ada di punggungnya dia berkata “As a human, I must be sad losing my husband and my left hand in this way, but, as a wife I’m happy in another side. This accident made me know how much my husband Love me, how much God still want me alive, that’s why I’m happy. For me, tears is just part to make us respect smile in some reason and smile is considerable solution for any tears. So If You can smile, and made him in heaven smile, why should you cry ? right ?

By the way, I should go. My flight is tomorrow morning at 4am to Finland via Hong Kong, nice to meet you again, have smile, and believe your tear for smile, man” Dan tak sempat aku berkata apa-apa, dia sudah memanggil taksi untuk pergi entah kemana.

Dan aku ??? mungkin aku tak dapat banyak bicara, dan kalau boleh merevisi judul photoku tadi, bolehkah aku menggantinya dengan ‘senyuman air mata = air mata senyuman’ ?

“tears is just part to make us respect smile in some reason and smile is considerable solution for any tears”-Christopher Reginald

2 comments:

Siapapun jiwa yang berucap, baiknya aku mengenalmu, dan kamu akan lebih pahami aku adanya