Memadamkan segenggam harapan

Akhirnya kita akan sampai pada suatu hari yang biasa…
Pada suatu hari yang kehadirannya mungkin tak pernah diingini….
Dimana jiwa penuh harap harus berhadapan dengan logika…
Berhadapan pada masa dimana tak mungkin terjadi hari ini…

Pada hari dimana semua orang harusnya menyisihkan hari untuk Tuhannya
Disana jiwa mengurai sepi dengan tanya dari dalam hati..
Tanya tentang rasa…tentang siapa aku ini sebenarnya ?
Dan seberapa pantas perjuangan itu ada…

Ini bukan lagi terpaksa… walau jujur ini luka…
Ini mungkin tak titikan air mata, namun ini jelas masih menyesah jiwa untuk terjaga lebih lama….
Bertanya dan menerima…
Bahwa nyawa ini berharga…namun tetap tak bertahta….

Secara sederhana dalam kata…
Jiwa ada pada tempat di hatinya…
Dan bayangnya tetap ada di singgasana yang sepantasnya…
Namun semua terbatas kata ‘tak harus memiliki’

Bila rasa itu serupa api,
Mungkin aku harus memadamkan obor abadi hati…
Bila harus kukumpulkan kembali hidup yang sendiri…
Diri layaknya mencari segenggam pasir di tepi lautan tanpa tepi..

Memang jiwa masih disini…
Tak bergeser kemanapun ni hati…
Namun semua memaksaku harus tetap menuju layar selanjutnya sang kehidupan…
Dan kini tersisa Tanya ?
Baiknya aku bertahan ?
Atau biarkan kupadamkan segenggam harapan ?
Karena keduanya kata logika…Menyakitkan…

Andai kau dengar nelangsa ini,
Izinkan aku rasakan pelukmu…
Biarkan aku mengecup rasamu….
Walau ini tetap kisah tak bertepi…

No comments:

Post a Comment

Siapapun jiwa yang berucap, baiknya aku mengenalmu, dan kamu akan lebih pahami aku adanya